Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perkara yang Bermanfaat untuk Penghuni Alam Kubur

Ada beberapa perkara yang jika dilakukan oleh seorang yang masih hidup untuk mayit maka akan memberikan manfaat bagi mayit tersebut. Hal ini telah dijelaskan dalam al-Qur’an dan Sunnah bahwa pahala kebaikan orang yang masih hidup akan sampai dan memberikan manfaat kepada mayit, seperti yang akan kita sebutkan berikut.

Puasa

Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya dari Aisyah bahwa Rasulullah bersabda:

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ (رواه البخاريّ)

“Barangsiapa meninggal dan mempunyai tanggungan hutang puasa maka walinya berpuasa untuknya”. (HR. al-Bukhari)

[Faedah Hadits]: Hadits ini memberikan pemahaman bahwa mayit yang memiliki tanggungan kewajiban puasa yang belum sempat di-qadla di masa hidupnya maka boleh di-qadla oleh wali mayit tersebut. Ini adalah perkara mustahabb. Atau dapat pula dikerjakan qadla’ tersebut oleh orang yang bukan wali mayit dengan izin dari wali mayit tersebut.

Haji 

Al-Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya meriwayatkan dari Abdullah ibn Abbas, bahwa ia (Ibn Abbas) berkata:

كَانَ الفَضْلُ رَديْفَ رسُولِ الله صلى الله عليه وسلم فجَاءَتْ امْرأةٌ منْ خثْئَم، فَجَعل الفضْلُ ينظُر إليها وَتَنظُر إليه، فجَعَل النّبي صلى الله عليه وسلم يَصرِف وجْهَ الفضل إلى الشّقّ الآخَر، فقالتْ: يا رَسُولَ الله إنّ فريضَةَ الحَجّ أدركتْ أبي شَيخًا كَبيرًا لا يَثْبُتُ على الرّاحِلة، أفأحجُّ عنه، قال: نعَم، وذلك في حجَّة الوَداع

Adalah al-Fadhl (ibn Abbas) membonceng binatang tunggangan bersama Rasulullah. Lalu datang seorang wanita dari kabilah Khats’am. al-Fadhl memandang kepada wanita tersebut, dan wanita itupun memandang kepada al-Fadhl. Maka Rasulullah memalingkan wajah al-Fadhl ke arah lain. Lalu wanita itu bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya haji telah wajib bagi ayahku ketika ia sudah tua renta dan tidak bisa lagi menaiki tunggangan, apakah bisa aku berhaji untuknya? Rasulullah menjawab: “Iya”. Peristiwa ini terjadi pada saat haji Wada’[1].

[Faedah Hadits]: Dalam hadits ini terdapat dalil jelas tentang adanya ibadah haji yang disebut dengan haji badal. Yaitu menghajikan bagi orang yang secara fisik sudah tidak mampu untuk mengerjakan ibadah haji, atau menghajikan bagi orang yang telah meninggal.

[Faedah lainnya]: Hadits ini salah satu dalil menunjukan bahwa wajah perempuan bukan aurat. Dalam hadits ini Rasulullah tidak memerintahkan perempuan Khats’amiyyah tersebut untuk menutup wajahnya. Bila ada yang berkata: “Bukankah ia sedang dalam ihram, maka pantaslah ia tidak menutup mukanya karena hal itu memang dilarang!”. Jawab: Seandainya menutup muka itu wajib, niscaya Rasulullah akan memerintahkan perempuan tersebut untuk melambaikan kain di atas muknya tanpa menyentuh kulit muka dengan merenggangkan (antara kain dan muka) dengan memakai sesuatu untuk memenuhi kemaslahatan ihram tersebut. Tapi nyatanya Rasulullah tidak memerintahkan demikian. Ini menunjukkan bahwa menutup muka bagi perempuan tidak wajib hukumnya, tetapi hanya merupakan sesuatu yang baik dan disunnahkan.

Para ulama juga telah sepakat bahwa perempuan dimakruhkan baginya menutup muka dan memakai cadar dalam shalat dan bahwa hal itu diharamkan saat ihram. Sedangkan kewajiban menutup muka itu hanya berlaku khusus bagi isteri-isteri Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallamsebagaimana dinyatakan oleh Abu Dawud dan lainnya.

Al-Imam Muslim dalam kitab Shahih meriwayatkan dari Abdullah ibn Abbas:

أنّ النّبيَ صلى الله عليه وسلم لَقِي ركْبا بالرّوحَاء، فقال: مَن القوم؟ قالوا: المسلمُون، فقالوا: من أنت؟ قال: رسول الله، فرَفعَتْ إليه امرأةٌ صَبيًّا فقالت: ألهذا حَجٌّ؟ قال؛ نعَم، ولَكِ أجْر. اهـ

Bahwa Rasulullah bertemu dengan sekelompok orang di Rawha’. Rasulullah bertanya: Siapakah kalian? Mereka menjawab: Kami orang-orang Islam. Maka mereka berkata: Siapakah engkau? Rasulullah menjawab: Rasululah. Maka salah seorang perempuan dari mereka mengangkat seorang bayi, sambil berkata: Apakah bagi bayi ini boleh berhaji? Rasulullah menjawab: Iya, dan bagimu pahala[2].

[Faedah hadits]: Dalam hadits ini terdapat dalil tentang sahnya ibadah haji seorang anak yang belum baligh.

Dalam hadits lain, al-Imam Muslim meriwayatkan dari Buraidah bahwa ada seorang perempuan berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, ibuku mempunyai tanggungan puasa dua bulan, apakah bisa aku berpuasa untuknya?”. Rasulullah menjawab: “Iya”. Perempuan tersebut berkata: “Wahai Rasulullah, ibuku belum pernah naik haji sama sekali, apakah bisa aku berhaji untuknya?”. Rasulullah menjawab: “Iya”.

Al-Hafizh al-Bazzar dan al-Hafizhath-Thabarani meriwayatkan dengan sanad hasan -sebagaimana penilaian hasan ini dinyatakan oleh al-Hafizh as-Suyuthi- dari sahabat sahabat Anas ibn Malik, bahwa ia berkata: “Suatu ketika datang seorang laki-laki kepada Rasulullah. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, ayahku meninggal dan belum menunaikan ibadah haji?”. Rasulullah berkata kepadanya: “Lihatlah, jika bapakmu punya tanggungan hutang apakah kamu akan membayarnya?”. Laki-laki tersebut menjawab: “Iya”. Lalu Rasulullah bersabda: “Haji itu adalah hutangnya, maka tunaikanlah”.[3]

Sedekah

Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya dari sahabat Abdullah ibn Abbas:

أنّ سعْدَ بْن عُبادة رضي الله عنه تُوفِّيتْ أمُّه وهُو غائبٌ عنْهَا، فقال؛ يا رسولَ الله إنّ أمِّي تُوُفّيتْ وأنا غائبٌ عنها، أينفعُها شيءٌ إن تَصدَّقْتُ به عنْها؟ قال؛ نعم، قال: فَإنّي أُشهدُكَ أنّ حَائطِي المخرافَ صَدقة عَليها

Bahwa Sa’d ibn ‘Ubadah ketika ibunya meninggal beliau sedang tidak berada di tempat. Kemudian setelah datang ke Madinah beliau menghadap Rasulullah dan bertanya: “Wahai Rasulullah, ibuku meninggal dan ketika itu saya tidak ada di dekatnya. Apakah ada sesuatu yang bermanfaat baginya jika aku sedekahkan atas dirinya?”. Rasulullah menjawab: “Iya”. Lalu Sa’d ibn ‘Ubadah berkata: “Jika demikian maka aku menjadikan anda sebagai saksi bahwa kebunku yang sedang berbuah itu adalah sedekah atas dirinya”[4].

Ath-Thabarani meriwayatkan dalam kitab al-Mu’jam al-Awsath dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Amr, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:

إِذَا تَصَدَّقَ أَحَدُكُمْ بِصَدَقَةٍ تَطَوُّعًا فَلْيَجْعَلْهَا عَنْ أَبَوَيْهِ، فَيَكُوْنُ لَهُمَا أَجْرُهَا وَلاَ يَنْتَقِصُ مِنْ أَجْرِهِ شَيْئًا (رواه الطَّبَرَانِيّ وقال الحافظ السُّيوطيّ: وَأَخْرَجَ الدَّيْلَمِيُّ نَحْوَهُ).

“Jika salah seorang di antara kalian bersedekah sunnah maka hendaklah ia jadikan pahalanya untuk kedua orang tuanya, sehingga keduanya mendapat pahala sedekah tersebut tanpa mengurangi sedikitpun pahala yang bersedekah itu sendiri”. (HR. ath-Thabarani dan ad-Dailami meriwayatkan hadits serupa sebagaimana dikatakan oleh as-Suyuthi)[5]

Menunaikan Hutang Mayit

Al-Imam Ahmad, Al-Imam al-Hakim dan Al-Imamal-Baihaqi meriwayatkan dari Jabir ibn Abdillah, berkata:

مات رجل فغسلناه وكفناه وحنطناه ووضعناه لرسول الله صلى الله عليه وسلم حيث توضع الجنائز عند مقام جبريل، ثم آذنا رسول الله صلى الله عليه وسلم بالصلاة عليه، فجاء معنا خطى، ثم قال: لعل على صاحبكم دينا؟ قالوا: نعم، ديناران، فتخلف، فقال له رجل منا يقال له أبو قتادة: يا رسول الله هما علي، فجعل رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: هما عليك وفي مالك والميت منهما بريء، فقال: نعم، فصلى عليه، فجعل رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا لقي أبا قتادة يقول: ما صنعت الديناران؟ حتى كان آخر ذلك قال: قضيتهما يا رسول الله، قال: الآن حين بردت عليه جلده.

Ada seorang yang meninggal, maka kami memandikannya, mengkafaninya, mengikatnya, dan meletakannya di hadapan Rasulullah, di tempat biasaa diletakan jenazah di maqam Jibril (dari arah Bab Jibril; dekat rumah Rasulullah), lalu kami memohon izin kepada Rasulullah untuk menshalatkannya, maka datanglah Rasulullah bersama kami melangkah beberapa langkah, lalu Rasulullah berkata: Mungkin atas teman kalian ini (mayit) ada tanggungan hutang? Mereka menjawab: benar, dua dinar. Maka Rasulullah mundur (tidak mau menshalatkannya). Lalu salah seorang dari kami bernama Abu Qatadah berkata: Wahai Rasulullah, dua dinar tersebut aku siap menanggungnya. Rasulullah berkata: Dua dinar itu menjadi tanggunganmu, dan dalam hartamu, serta mayit ini terbebas dari keduanya. Abu Qatadah berkata: Iya. Maka Rasulullah menshalatkan mayit tersebut. Setelah itu, apa bila Rasulullah bertemu dengan Abu Qatadah maka beliau bertanya: Bagaimana dengan dua dinar itu? Hingga pada akhirnya Abu Qatadah menjawab: Aku telah menbayarkannya wahai Rasulullah. Rasulullah bersabda: Sekarang ini adalah saat di mana si mayit itu telah dingin pada kulitnya[6].

Al-Imam al-Hakim berkata: “Ini adalah hadits sahih sanad-nya, dan keduanya (Al-Imam al-Bukhari dan Al-ImamMuslim) tidak meriwayatkannya”[7]. Sementara al-Hafizh al-Haitsami dalam kitab Majma’ az-Zawa-idberkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bazzar, dan sanad-nya hasan”[8].

[Faedah Hadits]: Dalam hadits ini terdapat dalil kuat bahwa pahala kebaikan dari orang yang hidup jika diperuntukan bagi orang yang telah meninggal maka bermanfaat untuknya. Hadits ini sekaligus sebagai mukhash-shish bagi keumuman ayat dalam firman Allah:

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى (النجم: 39)

Dan bahwasanya seorang manusia tiada memiliki selain apa yang telah diusahakannya. (QS. an-Najm: 39)

Doa Dan Memohon Ampunan (Istighfar) Bagi Mayit

Doa dan istighfar orang yang masih hidup untuk orang yang sudah meninggal akan bermanfaat bagi mayit. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam al-Bukhari bahwa suatu ketika Aisyah berkata di hadapan Rasulullah: “Alangkah sakitnya kepalaku...!”. Lalu Rasulullah berkata kepadanya:

ذَاكِ لَوْ كَانَ وَأَنَا حَيٌّ فَأَسْتَغْفِرُ لَكِ وَأَدْعُوْ لَكِ (رواه البخاريّ)

“Jika itu terjadi (engkau sakit dan meninggal) dan aku masih hidup maka aku akan mohon ampunan bagimu dan aku akan berdoa bagimu”. (HR. al-Bukhari)

[Fedah hadits]: Dalam hadits ini Rasulullah bersabda: “Wa ad’u laki” (...dan aku akan berdoa bagimu); kalimat ini memberikan pemahaman kebolehan seluruh doa dengan berbagi macamnya, termasuk di dalamnya doa seseorang yang ia bacakan setelah membaca al-Qur’an agar disampaikan pahala bacaannya bagi mayit, dengan umpama mengatakan: “Ya Allah sampaikanlah pahala apa yang telah aku bacakan dari al-Qur’an kepada ruh si fulan”.

Ath-Thabarani meriwayatkan dalam al-Mu'jam al-Ausath dan al-Baihaqi dalam Sunan-nya dari Abu Hurairah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:

إِنَّ اللهَ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِيْ الْجَنَّةِ، فَيَقُوْلُ: يَا رَبِّ أَنَّى لِيْ هذِهِ ؟! فَيَقُوْلُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ. ولفظ البيهقيّ: "بِدُعَاءِ وَلَدِكَ لَكَ" (أخرجه الطَّبَرَانِيّ وقال الحافظ السُّيوطيّ: "وَأَخْرَجَهُ البُخارِيُّ في الأَدَبِ عن أبي هريرة مَوْقُوْفًا).

“Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat seorang hamba yang saleh di surga, lalu ia berkata: Wahai Tuhan-ku dari mana saya memperoleh semua ini? Maka dijawab: Itu dari istighfar anakmu untukmu”. Dalam riwayat al-Baihaqi: “Dari doa anakmu untukmu”. (HR. ath-Thabarani dan al-Bukhari meriwayatkannya secara Mauquf dari sahabat Abu Hurairah sebagaimana dikatakan oleh as-Suyuthi)[9]

Ath-Thabarani juga meriwayatkan dari sahabat Abu Sa'id al-Khudri, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:

يَتْبَعُ الرَّجُلَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ الْحَسَنَاتِ أَمْثَال الْجِبَالِ، فَيَقُوْلُ: أَنَّى هذَا ؟ فَيُقَالُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ (رواه الطَّبَرَانِيّ)

“Pada hari kiamat seseorang diikuti kebaikan sebesar gunung, lalu ia bertanya: Dari mana aku memperoleh semua ini? Dikatakan kepadanya: Dari istighfar anakmu untukmu”. (HR. ath-Thabarani)[10]

[Faedah Hadits]: Penyebutan seorang anak secara khusus dalam hadits dua ini yang melakukan istighfar bagi orang tuanya bukan artinya hanya boleh dilakukan oleh si-anak mayit saja, tetapi itu hanya untuk memberikan pemahaman secara umum saja, oleh karena yang sangat dekat dengan seseorang adalah anaknya sendiri, dengan dalil firman Allah dalam QS. al-Hasyr: 10 bahwa orang-orang mukmin sesama mereka saling mendoakan, termasuk oleh seorang suami bagi isterinya --seperti dalam hadits di atas; Rasulullah akan ber-istighfar bagi Aisyah bila ia meninggal terlebih dahulu--, atau sebaliknya.

Al-Imam an-Nawawi dalam kitab al-Adzkar menuliskan sebagai berikut:

باب ما ينفع الميت من قول غيره؛ أجمع العلماء على أن الدعاء للأموات ينفعهم ويصلم ثوابه واحتجوا بقول الله تعالى: وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ (الحشر: 10)، وغير ذلك من الآيات المشهورة بمعناها، وفي الأحاديث المشهورة كقوله صلى الله عليه وسلم؛ اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لأَهْلِ بَقِيْعِ الغَرْقَدِ (رواه مسلم)، وقوله صلى الله عليه وسلم: اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا (رواه الترمذيّ والنسائيّ وأبو داود)، وغير ذلك. اهـ

Bab apa yang dapat memberikan manfaat bagi mayit dari perkataan orang lain. Para ulama telah sepakat bahwa doa bagi orang-orang (muslim) yang telah meninggal dapat bermanfaat bagi meerka, dan sampai kepada mereka pahalanya. Mereka berdali dengan firman Allah: “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami, berilah ampun bagi kami dan bagi saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami”. (QS. al Hasyr: 10), dan selain ayat ini dari ayat-ayat lainnya yang masyhur dengan kandungan makna yang sama. Juga terdapat banyak hadits yang sangat populer (masyhur) Rasulullah mendoakan ahli kubur, seperti doa beliau bagi penduduk pemakaman al-Baqi’: “Ya Allah, ampunilah ahli kubur Baqi’ al-Gharqad”. (HR. Muslim), juga doa beliau: “Ya Allah, ampunilah orang yang masih hidup di antara kami dan orang yang telah meninggal di antara kami”. (HR. at-Turmudzi, an-Nasa-i dan Abu Dawud).

Amalan Lainnya Yang Dapat Bermanfaat Bagi Mayit

Rasulullah bersabda:

إِنَّ مِنَ الْبِرِّ بَعْدَ الْبِرِّ أَنْ تُصَلِّيَ عَلَيْهِمَا مَعَ صَلاَتِكَ، وَأَنْ تَصُوْمَ عَنْهُمَا مَعَ صِيَامِكَ، وَأَنْ تَتَصَدَّقَ عَنْهُمَا مَعَ صَدَقَتِكَ (أخرجه ابن أبي شيبة)

“Sesungguhnya termasuk berbakti kepada orang tua adalah bila engkau menghadiahkan (pahala) shalat untuk kedua orang tuamu bersama shalatmu, berpuasa untuk mereka bersama puasamu, bersedekah untuk mereka bersama sedekahmu”. (HR. Ibn Abi Syaibah)[11]

Juga terdapat atsar-atsar dari Atha’, Zaid bin Aslam, al-Hasan ibn ‘Ali, al-Husein ibn ‘Ali, ‘Aisyah dan ‘Amr ibn al-‘Ash tentang memerdekakan budak untuk orang yang telah meninggal.[12]

Dan Dalam madzhab Hanbali ditegaskan bahwa semua amalan orang yang masih hidup jika dihadiahkan sebagian pahalanya atau seluruhnya, maka itu akan sampai kepada mayit. Syekh Mar'i al-Hanbali, salah seorang ulama Madzhab Hanbali ternama, dalam kitab fikih Hanbali, berjudul Ghayah al-Muntaha, berkata sebagai berikut:

وَكُلُّ قُرْبَةٍ فَعَلَهَا مُسْلِمٌ وَجَعَلَ بِالنِّـيَّةِ -فَلاَ اعْتِبَارَ بِاللَّفْظِ- ثَوَابَهَا أَوْ بَعْضَهُ لِمُسْلِمٍ حَيٍّ أَوْ مَيِّتٍ جَازَ وَيَنْفَعُهُ ذَلِكَ بِحُصُوْلِ الثَّوَابِ لَهُ. وَإِهْدَاءُ الْقُرَبِ مُسْتَحَبٌّ حَتَّى لِلرَّسُوْلِ صلّى اللهُ عَليه وَسَلّم مِنْ تَطَوُّعٍ وَوَاجِبٍ تَدْخُلُهُ نِيَابَةٌ كَحَجٍّ أَوْ لاَ كَصَلاَةٍ، وَدُعَاءٍ وَاسْتِغْفَارٍ وَصَدَقَةٍ وَأُضْحِيَةٍ وَأَدَاءِ دَيْنٍ وَصَوْمٍ وَكَذَا قِرَاءَةٌ وَغَيْرُهَا.

“Dan setiap ketaatan yang dilakukan oleh seorang muslim dan ia jadikan pahalanya (dengan meniatkan hal itu, artinya tidak perlu mengucapkannya dengan lisan) semuanya atau sebagian untuk sesama muslim yang masih hidup atau telah meninggal, hukumnya adalah boleh dan bermanfaat bagi mayit sehingga ia memperoleh pahala. Menghadiahkan ketaatan juga disunnahkan bahkan kepada Rasulullah sekalipun, baik berupa amalan sunnah, amalan wajib yang bisa digantikan seperti haji atau tidak bisa digantikan seperti shalat, doa, istighfar, sedekah, kurban, membayar hutang, puasa, demikian pula bacaan al-Qur’an dan lainnya”[13].

Membaca surat yasin bagi Mayit 

Terdapat hadits-hadits Rasulullah yang menganjurkkan untuk membaca surat Yaasiin bagi mayit. Ini menunjukan bahwa surat Yaasiin memiliki keistimewaan, sekaligus memberikan pemahaman bahwa apa yang biasa dilakukan oleh kebanyakan masyarakat kita dalam membacakannya bagi orang yang meninggal di antara mereka, atau untuk tujuan-tujuan tertentu; bukan hanya sebatas tradisi, namun itu semua memiliki dasar dan landasan yang kuat dalam syari’at kita.

Dari Ma’qil ibn Yasar, ia berkata: Rasulullah telah bersabda:

اِقْرَءُوْا ﴿يس﴾ عَلَى مَوْتَاكُمْ (رواه أبو داود والنسائيّ في عمل اليوم والليلة وابن ماجه وأحمد والحاكم وابن حبّان وصححه)

“Bacalah oleh kalian surat Yaasiin atas mayit-mayit kalian”. (HR Abu Dawud, an-Nasa-i dalam Amal al-Yaum Wa al-Lailah, Ibn Majah, Ahmad, al-Hakim, dan Ibn Hibban yang men-shahihkannya).

Sebagian ulama hadits menilai hadits ini sebagai hadits dla’if. Namun demikian Ibn Hibban telah menilainya sebagai hadits shahih. Sementara itu, Abu Dawud juga meriwayatkan hadits ini dalam kitab Sunan, dan beliau tidak mengomentarinya (diam). Ini artinya dalam penilaian Abu Dawud hadits tersebut berkualitas hasan, sebagaimana beliau menyatakan sendiri dalam pembukaan kitab Sunan-nya bahwa hadits-hadits yang beliau riwayatkannya dalam kitab tersebut dan oleh beliau tidak dikomentarai maka hadits-hadits tersebut memiliki derajat hasan. Demikian pula al-Hafizh as-Suyuthi mengatakan bahwa hadits di atas sebagai hadits hasan.

Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda:

يس قَلْبُ القرآن لا يَقرأهَا رجُلٌ يُريدُ اللهَ والدّارَ الآخِرةَ إلا غُفِرَ لهُ واقرَءُوهَا علَى مَوتاَكُم (رواهُ أحمدُ وَالنسَائيّ وَالطبَرَاني وغيرُهم)

“Yaasiin adalah jantungnya al-Qur’an, tidaklah seseorang membacanya untuk tujuan meraih ridha Allah dan tujuan mendapatkan pahala di akhirat kecuali orang tersebut diampuni dosa-dosanya, dan bacalah surat Yaasiin itu atas mayit-mayit kalian”. (HR. Ahmad, an-Nasa’i dan ath-Thabarani).

Hadits kedua ini walaupun juga dinilai dla’ifnamun para ulama hadits mengatakan bahwa hadits-hadits dha’if dapat diamalkan atau dijadikan sandaran dalam keutamaan-keutamaan amalan (Fadha-il al-A’mal). Al-Imam Ahmad ibn Hanbal, Al-Imam Abdurrahman ibn Mahdi dan lainnya berkata:

إذَا رَوَيْنا فِي الحَلاَلِ والْحرَامِ شَدَّدْنَا، وإذَا رَوينَا فِي الفَضَائِل وَنَحْوِهَا تَسَاهَلْنَا

“Apa bila kami meriwayatkan hadits-hadist dalam masalah halal dan haram maka kami sangat ketat (selektif), dan bila kami meriwayatkan hadits-hadits dalam masalah Fadha-il al-A’mal dan semacamnya maka kami mempermudah (longgar dalam menilai hadits)[14].

Al-Hafizh an-Nawawi dalam kitab al-Adzkarmenuliskan:

قالَ العُلمَاءُ مِنَ المحدثيْنَ والفُقهَاء وغيرهم؛ يَجوزُ ويُستحَبُّ العَمَلُ فِي الفضَائل وَالترغيْبِ وَالتّرهيْبِ بِالحديْثِ الضّعيفِ مَا لَمْ يكُنْ مَوْضُوْعًا. اهـ

“Para ulama dari kalangan ahli hadits dan ahli fiqih dan lainnya berkata; Boleh bahkan dianjurkan dalam perkara-perkara yang mengandung keutamaan (Fadha-il al-A’mal), serta dalam at-Targhib dan at-Tarhib (anjuran dan ancaman) bersandar kepada hadits dha’if, selama haditsnya bukan maudhu’ (palsu)”[15].

Al-Qurthubi dalam kitab at-Tadzkirah, setelah mengutip hadits di atas, berkata:

يَحْتَمِلُ أنْ تَكُونَ هذِه القِراءَةُ عِند الميّت حَالَ موْتهِ وَيَحْتَمِلُ أن تكُوْنَ عنْدَ قَبرهِ. اهـ

“Boleh jadi –anjuran- bacaan surat Yaasiin ini terhadap orang yang sedang sekarat; menghadapi kematiannya, atau bisa juga bacaan tersebut terhadap mayit di kuburnya”[16].

Sementara al-HafizhIbn al-Qath-than, --salah seorang guru-guru al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani-- dalam risalah yang beliau tulis dengan judul al-Qaul Bi al-Ihsan al-‘Amim Fi Intifa’ al-Mayit Bi al-Qur’an al-‘Azhim menuliskan sebagai berikut:

وَأوَّلَ جمَاعةٌ مِنَ التّابعيْنَ القِراءَةَ للْمَيّت بِالُمحْتَضَرِ، وَالتأويلُ خِلافُ الظّاهِر، ثمَّ يُقال عَليه؛ إذَا انْتَفَعَ الُمحْتَضَرُ بقِراءة يس، ولَيْسَ مِنْ سَعْيهِ، فَالميت كذَلك، والميتُ كَالْحَيّ الحاضِرِ يَسْمَعُ كالحيِّ الحاضِر كما ثبَتَ في الحديْث. اهـ

“Sekolompok kalangan Tabi’in mentakwil –hadits tersebut-- bahwa anjuran bacaan di sini adalah terhadap orang yang sedang dalam keadaan sekarat (al-muhtadhar). Dan takwil demikian itu menyalahi zahirnya. Kemudian pemahaman tersebut juga dibantah: Jika seorang yang dalam keadaan sekarat dapat mengambil manfaat dari bacaan surat Yaasiin yang padahal itu bukan dari usahanya sendiri; maka semikian pula seorang mayit. Karena seorang mayit itu seperti orang hidup yang hadir, ia mendengar sebagaimana orang hidup yang hadir, seperti benar adanya demikian dalam hadits”[17].

Ada banyak pernyataan para ulama menetapkan bahwa maksud hadits di atas adalah anjuran membacakan surat Yasiin terhadap orang yang telah meninggal. Di antara mereka adalah; Al-Imam Ibn ar-Rif’ah[18], Ibn Abdil Wahid al-Maqdisi[19], Syamsuddin al-Manbaji al-Hanbali, Muhammad al-Futuh yang dikenal dengan Ibn an-Najjar[20], az-Zarkasyi[21], Syamsuddin ar-Ramli[22], dan lainnya.

Walaupun kemudian ada pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa anjuran membaca surat Yaasiin itu adalah bagi orang yang sedang sekarat (al-muhtadhar); namun demikian para ulama tersebut tidak kemudian melarang membaca al-Qur’an bagi orang yang telah meninggal, oleh karena kebolehan membaca al-Qur’an untuk orang yang meninggal telah menjadi Ijma’ (konsensus) ulama. Adapun perbedaan pendapat di kalangan mereka adalah hanya dalam masalah memaknai redaksi hadits; “mautakum”.

Penjelasan al-Qurthubi dan Ibn al-Qath-than di atas menjadi bantahan terhadap mereka yang mengkhususkan pemahaman hadits di atas hanya terhadap orang yang sedang sekarat saja. Oleh karena kata mayit (bentuk jamak-nya; mauta) dalam penggunaan bahasa biasa dipakai bagi yang sedang sekarat masih ada ruh-nya, juga bagi orang yang telah meninggal; keluar ruh-nya.

Membaca Al Qur'an untuk mayit 

Hadits Ma'qil ibn Yasar bahwa Rasulullah bersabda:

اِقْرَءُوْا ﴿يس﴾ عَلَى مَوْتَاكُمْ (رواه أبو داودَ والنّسائيّ فِي عمَل اليوم وَالليلة وابْنُ ماجَه وأحمدُ والحاكمُ وابنُ حبّانَ وصحَّحَه)

“Bacalah surat Yaasin untuk mayit kalian”. (HR Abu Dawud, an-Nasai dalam kitab ‘Amal al-Yaum Wa al-Lailah, Ibn Majah, Ahmad, al-Hakim dan Ibn Hibban dan dishahihkannya).

Al-Imam Ahmad ibn Hanbal juga meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:

﴿يس﴾ قَلْبُ القُرْءَانِ لاَ يَقْرَؤُهَا رَجُلٌ يُرِيْدُ اللهَ وَالدَّارَ الآخِرَةَ إِلاَّ غُفِرَ لَهُ، وَاقْرَءُوْهَا عَلَى مَوْتَـاكُمْ (رواه أحمد)

“Yasin adalah hatinya al-Qur’an, tidaklah dibaca oleh seorangpun karena mengharap ridla Allah dan akhirat kecuali ia diampuni oleh Allah dosa-dosanya, dan bacalah Yasin ini untuk mayit-mayit kalian”. (HR. Ahmad)

Al-Hafizh Ath-Thabarani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir, dan al-Hafizh al-Baihaqi dalam kitab Syu’ab al-Iman meriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar, bahwa ia berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda:

إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ فَلاَ تَحْبِسُوْهُ، وَأَسْرِعُوْا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ، وَلْيُقْرَأْ عِنْدَ رَأْسِهِ فَاتِحَةُ الْكِتَابِ. وَلَفْظُ الْبَيْهَقِيِّ: "فَاتِحَةُ الْبَقَرَةِ، وَعِنْدَ رِجْلَيْهِ بِخَاتِمَةِ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ فِيْ قَبْرِهِ". (رواه الطبراني والبيهقيّ وقال الحافظ ابن حجر: "أخرجه الطبرانيّ بإسناد حسن)

“Jika salah seorang di antara kalian meninggal maka jangan ditahan dan segerakan dibawa ke kuburannya, dan hendaklah dibaca al-Fatihah di dekat kepalanya”. Dalam lafazh riwayat al-Baihaqi: “Awal surat al-Baqarah, dan di dekat kakinya (hendaklah dibaca) akhir surat al-Baqarah di dekat kuburnya”. (HR. ath-Thabarani dan al-Baihaqi, al-Hafizh Ibn Hajar berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabarani dengan sanad yang Hasan”)

Ath-Thabarani juga meriwayatkan dalam al-Mu’jam al-Kabir dari ‘Abd ar-Rahman ibn al-‘Ala’ ibn al-Lajlaj, bahwa ia berkata:

قَالَ لِيْ أَبِيْ: يَا بُنَيَّ، إِذَا أَنَا مِتُّ فَأَلْحِدْنِيْ، فَإِذَا وَضَعْتَنِيْ فِيْ لَحْدِيْ فَقُلْ: بِسْمِ اللهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُوْلِ اللهِ ثُمَّ سُنَّ عَلَيَّ الثَّرَى سَنًّا، ثُمَّ اقْرَأْ عِنْدَ رَأْسِيْ بِفَاتِحَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا، فَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلّى اللهُ عَليه وَسَلّم يَقُوْلُ ذلِكَ (روَاه الطَّبَرانِيّ وقال الحافظ الهيثميّ: "رواه الطَّبَرانِيّ في الكبير ورِجَالُهُ مَوْثُوْقُوْنَ").

“Ayahku (al-‘Ala’) berkata kepadaku: Wahai anakku, jika aku mati maka buatkanlah liang lahat untukku, dan jika engkau telah meletakkanku di liang lahat maka katakanlah: “Bismillah Wa ‘Ala Millati Rasululillah”, kemudian timbunlah aku dengan tanah, kemudian bacakan di dekat kepalaku permulaan surat al-Baqarah dan akhir al-Baqarah, karena aku telah mendengar Rasulullah mengatakan hal itu”. (HR. ath-Thabarani dan al-Hafizh al-Haitsami mengatakan: “Perawi-perawinya adalah orang-orang terpercaya”)

Abdul Aziz; murid al-Khallal meriwayatkan dengan sanadnya dari Anas ibn Malik bahwa Rasulullah bersabda:

مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ، فَقَرَأَ سُوْرَةَ ﴿يس﴾ خَفَّفَ اللهُ عَنْهُمْ، وَكَانَ لَهُ بِعَدَدِ مَنْ فِيْهَا حَسَنَاتٌ.

“Barangsiapa memasuki areal pekuburan lalu membaca surat Yaasiin maka Allah akan meringankan siksa ahli kubur, dan ia akan diberi kebaikan sebanyak orang yang dikuburkan di sana”.

Abu Muhammad as-Samarqandi meriwayatkan dalam Fadla’il Surah al-Ikhlash dari sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib dari Rasulullah, bersabda:

مَنْ مَرَّ عَلَى الْمَقَابِرِ، وَقَرَأَ ﴿قل هو الله أحد﴾ إِحْدَى عَشْرَةَ مَرَّةً، ثُمَّ وَهَبَ أَجْرَهُ لِلأَمْوَاتِ، أُعْطِيَ مِنَ الأَجْرِ بِعَدَدِ الأَمْوَاتِ.

“Barangsiapa melewati pekuburan lalu membaca surat al-Ikhlas sebanyak sebelas kali, kemudian ia memberikan pahalanya kepada orang-orang yang telah meninggal, ia akan diberi pahala sebanyak orang yang telah meninggal”.

Abu al-Qasim ibn Ali az-Zanjani dalam kitab al-Fawa’idmeriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:

مَنْ  دَخَلَ  الْمَقَابِر، ثُمَّ  قَرَأ  فَاتِحَةَ  الْكِتَابَ، و﴿قل هو الله أحد﴾ و﴿ألهاكم التكاثر﴾، ثُمَّ  قَالَ:  اَللّهُمَّ  إِنِّيْ  قَدْ جَعَلْتُ  ثَوَابَ  مَا قَرَأْتُ  مِنْ  كَلاَمِكَ  لأَهْلِ  الْمَقَابِرِ  مِنَ  الْمُؤْمِنِيْنَ  وَالْمُؤْمِنَاتِ،  كَانُوْا شُفَعَاءَ  لَهُ  إِلَى  اللهِ  تَعَالَى

“Barangsiapa memasuki areal pekuburan lalu membaca al-Fatihah, surat al-Ikhlas, surat at-Takatsur, kemudian ia berkata: “Ya Allah, aku telah jadikan pahala bacaan al-Qur’an tadi untuk para ahli kubur dari orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan”, maka mereka akan memberi syafa’at untuknya kepada Allah”.

Tiga hadits ini disebutkan oleh al-Hafizh as-Suyuthi dalam Syarh ash-Shudur.[23]

Dalam kitab al-Maqshid al-Arsyad, Ahmad ibn Muhammad al-Marrudzi berkata: “Saya mendengar Ahmad ibn Hanbal berkata: “Apabila kalian memasuki areal pekuburan maka bacalah surat al-Fatihah, al-Mu'awwidzatayn dan surat al-Ikhlas, lalu hadiahkanlah pahalanya untuk ahli kubur karena sesungguhnya pahala bacaan itu akan sampai kepada mereka”[24].

Referensi:

  • [1] Shahih al-Bukhari, Kitab al-Hajj, Bab wajib haji dan keutamaannya.
  • [2] Shahih Muslim, Kitab al-Hajj, Bab sahnya haji seorang anak kecil dan adanya pahala bagi orang yang menghajikannya.
  • [3] As-Suyuthi, Syarh ash-Shudur, h. 267.
  • [4] Shahih al-Bukhari, Kitab al-Washaya (wasiat-wasiat)
  • [5] As-Suyuthi, Syarh ash-Shudur, h. 266.
  • [6] Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, j. 3, h. 330. Lihat pula al-Hakim, al-Mustadrak,j. 2, h. 58, dan al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, j. 6, h. 75
  • [7] al-Hakim, al-Mustadrak, j. 2, h. 58
  • [8] Al-Haitsami, Majma’ az-Zawa-id, j. 3, h. 39
  • [9] As-Suyuthi, Syarh ash-Shudur, hal. 263.
  • [10] As-Suyuthi, Syarh ash-Shudur, hal. 263.
  • [11] Syarh ash-Shudur, h. 268.
  • [12] Syarh ash-Shudur, hal. 267-268.
  • [13] Ghayah al-Muntaha, j1, h. 259-260
  • [14] Diriwayatkan oleh banyak ulama hadits. Lihat al-Khathib al-Baghdadi, al-Kifayah Li Dzawil ‘Inayah, h. 33, Ibn as-Shalah, Muqaddimah,h. 287, as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi, j. 1, h. 298
  • [15] An-Nawawi, al-Adzkar, h. 10
  • [16] At-Tadzkirah, h. 90
  • [17] Dikutip oleh az-Zabidi dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin, j. 10, h. 370
  • [18] Ibn ar-Rif’ah, Kifayah an-Nabih Syarh at-Tanbih, Kitab al-Jana-iz, j. 5, h. 12
  • [19] Sebagaimana dinukil oleh as-Suyuthi dalam kitab Syarh ash-Shudur, h. 312
  • [20] Ibn an-Najjar, Mukhtashar at-Tahrir Syarh al-Kawkab al-Munir, j. 3, h. 196
  • [21] Ketetapan az-Zarkasyi ini dikutip oleh Ibn Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah; Bab al-Jana-iz, j. 2, h. 27
  • [22] Ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj Ila Syarh al-Minhaj; Kitab al-Jana-iz, j. 2, h. 437
  • [23] Syarh ash-Shudur, h. 269-270.
  • [24] al-Maqashid al-Arsyad, j. 2, h. 338-339

Posting Komentar untuk "Perkara yang Bermanfaat untuk Penghuni Alam Kubur"