Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Zakat Fitrah bisa dengan Uang?

Hampir setiap tahun, pada masa berakhirnya bulan Ramadhan, banyak bermunculan pertanyaan seputar hukum membayarkan zakat fithrah dengan menggunakan uang. Dan yang paling mencolok adalah ijtihadnya Syaikhona Kholil Bangkalan yang memperbolehkan zakat fitrah dengan uang. Kiai Kholil dalam kitabnya, al-Matnu as-Syarif mengatakan:

وَيُسَنُّ اَنْ يُخْرِجَهَا قَبْلَ صَلَاةِ الْعِيْدِ وَيَجُوْزُ إِخْرَاجُ الْقِيْمَةِ

“Dan hukumnya sunah untuk menunaikan zakat fithrah sebelum sholat ‘id. Dan diperbolehkan menunaikannya dengan qiimah (di-uang-kan)”. (K.H. Kholil Bangkalan, alMatnu alSyarif, hal.46).
Pendapat Kiai Kholil ini jelas berbeda dengan mayoritas ulama Syafi’iyyah, baik dari ulama kuno (mutaqaddimin) atau ulama akhir (muta’akhirin). Kiyai Thaifur Ali Wafa dalam syarah Matnu as-Syarif mengomentari pendapat Kiyai Kholil Bangkalan dengan menulis demikian:

(قَوْلُهُ وَيَجُوْزُ إِخْرَاجُ الْقِيْمَةِ)

   وَهَذَا مِمَّا انْفَرَدَ بِهِ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللهُ مِنْ بَيْنِ سَائِرِ أَصْحَابِنَا رَحِمَهُمُ اللهُ إِذْ لَمْ يَقُلْ بِهِ أَحَدٌ مِنَ الْأَئِمَّةِ الشَّافِعِيَّةِ قَالَ الرَّمْلِيُّ فِي النِّهَايَةِ فَلَاتُجْزِئُ الْقِيْمَةُ بِالْاِتِّفَاقِ قَالَ الشِّبْرَامَلِسِيْ أَيْ مِنْ مَذْهَبِنَا

“Pernyataan Kiyai Kholil Bangkalan Rohimahullah, tentang diperbolehkannya mengeluarkan zakat dengan diuangkan (Qiimah), ini termasuk pendapat pribadi beliau (kyai Kholil) yang berbeda dengan para ashab Syafi’iyyah, hal ini tidak satu-pun ulama Syafiiyyah berpendapat demikian. Ulama Al Ramli dalam kitab Nihayahnya mengatakan, maka tidak mencukupi membayarkan zakat dengan diuangkan (qimah). ulama Ali Syibramalisi dalam komentarnya mengatakan, ini maksudnya dari madzhab kami, Syafi’iyyah”
(KH. Thaifur Ali Wafa, alMisan al Lashif bisyarhi Matni al Syarif, hal.949).

Baca Juga: Zakat Fitrah dibayarkan Kepada Siapa?

Berdasarkan keilmuan dengan metodologis dan sanad bermadzhab, pendapat Kiai Kholil ini sama dengan pendapatnya Al imam Bukhari yang juga bermadzhab Syafi’i. Hal ini diterangkan didalam Fathul Bari, Syaikh Ibnu Hajar al-Asqalani menegaskan:
“Maksud pendapat Imam al-Bukhari dalam “bab al-‘ardl fi al-Zakat”, adalah bab bolehnya mengambil al-‘ardl (harta selain emas & perak yang memiliki nominal sama dengan harta zakat yang wajib dikeluarkan). Ibnu Rushdi mengatakan, al-Bukhari dalam hal ini sependapat dengan ulama’ Hanafiyyah, meski dalam banyak permasalahan menyelisihi mereka. Akan tetapi al-Bukhari berpendapat demikian karena menyesuaikan dalil yang beliau pahami”. 
(Ibnu Hajar al Asqalani, juz 3, hal.312).

Dalam bab tersebut, salah satu yang disampaikan al-Bukhari adalah hadits:
“Sesungguhnya Abu Bakr menuliskan untuk Anas perintah Allah dan Rasul-Nya, barang siapa berkewajiban mengeluarkan unta bintu makhadl dan tidak menemukannya, ia hanya punya bintu labun, maka dapat diterima dengan menambahkan 20 dirham atau dua ekor kambing”.

Ahmad bin Shidiq al Ghumari al Syafi’i terkait hadits yang disampaikan Imam Bukhari di atas memberi komentar:

وَهُوَ صَرِيْحٌ فِي أَخْذِ الْقِيْمَةِ بَدَلَ الْوَاجِبِ

“Hadits tersebut dengan tegas memperbolehkan mengambil nominal nilai uang sebagai ganti harta yang wajib dizakatkan. (al Ghumari, Tahqiq al Amal, hal.57)

walaupun tidak secara tegas menjelaskan permasalahan tentang zakat Fitrah, hal ini pendapat Imam Bukhari tersebut dapat diterapkan dalam zakat fithrah. Esensi pendapat Imam Al Bukhari adalah diperbolehkan mengeluarkan harta lain yang setara secara nominal, sebagai pengganti dari zakat yang wajib ditunaikan. Setelah mengambil pendapat Imam Bukhari dan beberapa ulama’ lain, Syaikh Ahmad bin Shidiq al-Ghumari al-Syafi’i menegaskan:

وَاِذَا ثَبَتَ ذَلِكَ فِي الزَّكَاةِ فَهِيَ شَامِلَةٌ لِزَكَاةِ الْفِطْرِإِذْ لَا فَارِقَ أَصْلًا وَالْقِيْمَةُ كَمَا تَكُوْنُ عَرْضَا تَكُوْنُ نَقْدًا بَلْ هُوَ الْأَصْلُ فِيْهَا.

“Apabila mengeluarkan qimah diperbolehkan dalam zakat, maka kebolehan tersebut juga mencakup dalam permasalahan zakat fitrah, sebab tidak ada perbedaan sedikitpun (antara zakat fitrah dan lainnya). Qimah sebagaimana berlaku untuk selain emas dan perak, juga berlaku untuk keduanya, bahkan emas dan perak menjadi dasar dalam menentukan qimah). 
(al-Ghumari, Tahqiq al-Amal, hal.59).

Baca Juga: Sejarah Ketupat di Hari Raya Idul Fitri

Dalam pandangan maqashid, bolehnya membayarkan zakat fithrah dengan uang berdasarkan pada kenyataan sekarang bahwa yang lebih mashlahat dan dibutuhkan bagi faqir dan miskin adalah uang. Berbeda pada zaman Nabi yang waktu itu makanan pokok sangat jarang ditemukan sehingga lebih dibutuhkan faqir dan miskin.
(al Ghumari, Tahqiq al Amal hal.94).

Dasar Dalil ini, dapat dipahami bahwa pendapat Syaikhona Kholil memiliki sanad bermadzhab dan aspek metodelogi yang kuat dalam madzhab Syafi’i. yaitu diperbolehkan mengamalkan pendapat beliau dengan menunaikan zakat dengan uang yang nominal uangnya sama dengan kadar makanan pokok yang dizakatkan, ialah harga beras 2,751 kg.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa kiat tidak perlu berpindah taqlid kepada Hanafiyyah yang menyatakan bolehnya zakat fithrah dengan uang. Hal ini sudah dijelaskan oleh para ulama fuqaha’ Syafi’iyyah, yaitu masih mengikuti salah satu pendapat di dalam satu madzhab yang lebih baik dari taqlid mengikuti madzhab lain.
Dalam Madzhab Hanafiyyah sendiri, nominal yang boleh dikeluarkan untuk zakat fitrah terbatas nominal makanan yang dijelaskan dalam hadits, yaitu gandum merah, gandum putih, kurma dan anggur. Hal ini sangat beda dengan madzhab Syafi’i yang menyesuaikan makanan pokok di daerah setempat.

Masalah zakat fithrah dengan uang atau qutul balad (makanan pokok) itu adalah masalah khilafiyah bainal ulama. Sedari dulu sudah ada perbedaan pendapat antara para ulama. Jadi tidak perlu kita perdebatkan mana yang benar. Insyaallah semua benar. Karna berijtihad itu kalau benar dapat pahala dua, kalau salah dapat pahala satu. Kalau mau zakat dengan beras ya silahkan.. Kalau dengan uang karena tidak mau ribet ya dipersilahkan. Ikhtilaful ulama rohmah, yang penting kita semua menunaikan zakat. Jangan sampai kita malah menyalahkan para ulama dan imam madzhab. bukan kapasitas kita menyalahkan ulama.

Berikut ini dalil-dalil naqli dan aqli zakat fitrah dengan uang (Qiimah):

  1. Allah Ta'ala berfirman, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.” (at-Taubah: 3). Uang termasuk harta. Adapun tidak diberlakukannya zakat dengan uang pada zaman nabi karena untuk memudahkan mereka. Pada zaman itu umat Islam belum memiliki uang tersendiri. Uang dinar berasal dari Romawi dan uang dirham berasal dari Persia.
  2. Sahabat Mu’adz ketika di Yaman berkata, “Bawalah baju Khamis atau lainnya kepadaku. Aku mengambilnya dari kalian sebagai ganti zakat, karena hal itu lebih mudah bagi kalian dan lebih bermanfaat bagi kaum Muhajirin di Madinah.” (HR. Baihaqi dan Imam Bukhari) Dalam riwayat lain disebuatkan, “…sebagai ganti dari jagung dan gandum.” (HR. Baihaqi) Ketika itu masyarakat Yaman terkenal dengan produksi pakaian, sementara mayoritas penduduk Madinah petani. Maka membayar zakat dengan pakaian sebagai ganti dari jagung dan gandum lebih mudah bagi mereka dan lebih bermanfaat bagi para sahabat di Madinah. Perlu diketahui bahwa sahabat Muadz telah disaksikan oleh Nabi. sebagai orang yang paling tahu tentang halal dan haram.
  3. Imam Ahmad dan Baihaqi meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Shallallaahu Alaihi Wasallam marah ketika melihat unta tua yang dimasukkan dalam harta zakat. Beliau bersabda, “Celakalah orang yang mengambil unta ini!” Orang yang mengambilnya lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku akan menggantinya dengan dua unta dari unta-unta kecil sebagai zakat.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, ya.” Hadits ini memiliki sanad yang dapat dijadikan hujjah. Mengganti satu unta dengan dua unta adalah mempertimbangkan nilai dan ini sama dengan membayar zakat dengan uang.
  4. Muawiyah berkata, “Sesungguhnya aku melihat dua mud Samra` (gandum Syam) setara dengan satu sha’ kurma.” (HR. Muslim, Nasa`i, Baihaqi dan lainnya) Di sini sahabat Muawiyah, membolehkan satu Sha’ kurma diganti dengan dua mud gandum Syam. Ini menunjukkan bolehnya membayar zakat dengan nilai atau uang.
  5. Zakat merupakan jenis ibadah yang spesial seperti haji. Di dalamnya terdapat tujuan-tujuan yang bisa dipahami oleh akal manusia. Dengan kata lain, ada sisi-sisi kemanusiaannya yang bisa dijadikan acuan untuk istidlal aqli. Jika pada zaman nabi tidak ada zakat uang, itu karena kondisinya menuntut seperti itu. Kondisinya berbeda setelah itu. Kita bisa memahami Imam Abu Hanifah yang membolehkan zakat fitrah dengan uang karena beliau hidup di negeri Irak yang corak kehidupannya sudah metropolitan, disamping beliau sendiri juga seorang pedagang. Sesungguhnya kondisilah yang menuntut demikian. Beliau melihat zakat dengan uang lebih mudah, lebih praktis, dan lebih bermanfaat untuk fakir miskin.
  6. Masyarakat yang tidak memiliki banyak beras akan membeli beras untuk membayar zakat. Setelah membayarkannya, panitia mengumpulkannya dan membutuhkan banyak tenaga untuk mendistribusikannya. Setelah didistribusikan kepada penerima zakat, penerima zakat menjualnya lagi kepada toko yang tentunya dengan harga di bawah standar. Bahkan, ada juga panitia yang menjual beras-beras itu secara langsung. Maka kerepotan-kerepotan ini akan hilang jika pembayaran zakat menggunakan uang. Membawanya ke panitia mudah, lalu panitia menyerahkannya kepada penerima zakat juga mudah, tanpa banyak tenaga dan biaya. Manfaatnya bagi penerima zakat juga lebih besar dan lebih leluasa, terlebih pada zaman sekarang yang secara umum tidak kekurangan masalah makanan.
Referensi:

Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, juz 3 hal. 2044 - 2046 (Fiqih Perbandingan)

قال الحنفية: تجب زكاة الفطر من أربعة أشياء: الحنطة والشعير والتمر والزبيب - إلى أن قال - دفع القيمة عندهم: يجوز عند الحنفية أن يعطي عن جميع ذلك القيمة دراهم أو دنانير أو فلوسا أو عروضا أو ما شاء؛ لأن الواجب في الحقيقة إغناء الفقير، لقوله صلى الله عليه وسلم: «أغنوهم عن المسألة في مثل هذا اليوم» والإغناء يحصل بالقيمة، بل أتم وأوفر وأيسر؛ لأنها أقرب إلى دفع الحاجة، فيتبين أن النص معلل بالإغناء.
دفع القيمة عندهم: لا يجزئ عند الجمهور إخراج القيمة عن هذه الأصناف، فمن أعطى القيمة لم تجزئه، لقول ابن عمر: «فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم صدقة الفطر صاعا من تمر، وصاعا من شعير» فإذا عدل عن ذلك فقد ترك المفروض.

Al-Mabsuth, juz 3 hal. 107 (Madzhab Hanafi)

فإن أعطى قيمة الحنطة جاز عندنا؛ لأن المعتبر حصول الغنى وذلك يحصل بالقيمة كما يحصل بالحنطة، - إلى أن قال - وكان الفقيه أبو جعفر - رحمه الله تعالى - يقول: أداء القيمة أفضل؛ لأنه أقرب إلى منفعة الفقير فإنه يشتري به للحال ما يحتاج إليه

Al-Mudawwanah, juz 1 hal. 392 (Madzhab Maliki)

وقال مالك: ولا يجزئ الرجل أن يعطي مكان زكاة الفطر عرضا من العروض، قال: وليس كذلك أمر النبي - صلى الله عليه وسلم -، وأن مالكا أخبرني أن زيد بن أسلم حدثه عن عياض بن عبد الله بن سعد بن أبي سرح العامري، أنه سمع أبا سعيد الخدري يقول: كنا نخرج زكاة الفطر صاعا من طعام أو صاعا من شعير أو صاعا من تمر أو صاعا من أقط أو صاعا من زبيب.

Al-Majmu’, juz 6 hal. 144 (Madzhab Syafi’i)

مسألة: لا تجزئ القيمة في الفطرة عندنا وبه قال مالك وأحمد وابن المنذر. وقال أبو حنيفة يجوز وحكاه ابن المنذر عن الحسن البصري وعمر بن عبد العزيز والثوري

Al-Mughni, juz 3 hal. 87 (Madzhab Hanbali)

(ومن أعطى القيمة، لم تجزئه) قال أبو داود قيل لأحمد وأنا أسمع: أعطي دراهم - يعني في صدقة الفطر - قال: أخاف أن لا يجزئه خلاف سنة رسول الله - صلى الله عليه وسلم -. وقال أبو طالب، قال لي أحمد لا يعطي قيمته، قيل له: قوم يقولون، عمر بن عبد العزيز كان يأخذ بالقيمة، قال يدعون قول رسول الله - صلى الله عليه وسلم - ويقولون قال فلان، قال ابن عمر: فرض رسول الله - صلى الله عليه وسلم -. وقال الله تعالى: {أطيعوا الله وأطيعوا الرسول} [النساء: 59] . وقال قوم يردون السنن: قال فلان، قال فلان. وظاهر مذهبه أنه لا يجزئه إخراج القيمة في شيء من الزكوات. وبه قال مالك، والشافعي وقال الثوري، وأبو حنيفة: يجوز

Wallahu a’lam bi al-Shawab.

Posting Komentar untuk "Zakat Fitrah bisa dengan Uang?"