Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jangan Pernah Memukul atau menampar Wajah Seseorang

Mungkin bagi beberapa orang tidak mengetahui kenapa tidak boleh memukul ataupun menampar wajah seseorang. Disamping kena hukum, juga kena dosa. Namun ada yang perlu diketahui latar belakang atau disebut sebagai asbabul wurud dari sebuah hadits yang tidak boleh memukul wajah atau bahkan menamparnya. 


Perlu diketahui bahwa larangan menampar wajah manusia ini ada hubungannya dengan penciptaan Nabi Adam Alaihis sholaatu wassalaam. yaitu sebagai berikut:

Dalam beberapa hadits terdapat rincian-rincian sebagai pemaknaan dan juga pemahaman yang bisa juga dapat mengecohkan atau bahkan menyesatkan. Sedangkan pemahaman yang benar hanyalah dapat diketahui dari para ulama yang memang benar-benar paham dengan pemahaman yang benar pula. Hal itu dapat diketahui dari pemahaman segi periwayatan hadits-haditsnya dan juga dalam mengungkap makna-makna yang benar terkandung di dalamnya. 

Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam meriwayatkan hadits dan juga mengungkapkan akan makna-makna yang terkandung di dalam hadits tersebut adalah tugasnya para ulama yang sudah ahlinya, bukan oleh siapapun atau bebas bisa diemban oleh siapapun. Ini penting agar tidak terjadi kesalah-pahaman yang menimbulkan kerusakan. 

Lalu kemudian, saya menuliskan ini, adalah didapat dari guru saya, KH Kholilurrohman Tangerang. dan beliau didapat dari gurunya dan juga gurunya lagi sampai Syaikh Abdullah Al Harari rohimahullaah. Baik, mari kita bahas

Hadits Pertama:

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam dua kitab Shohih masing-masing; dari hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

خَلَقَ اللهُ  تَعَالَى ءَادَمَ (عليه الصلاة والسلام) عَلَى صُوْرَتِهِ

Awas!! [Makna literal dari riwayat ini tidak boleh kita ambil, yang artinya: ”Allah menciptakan Nabi Adam di atas bentuk-Nya”. ini adalah Makna literal yang seakan menetapkan bahwa Allah memiliki bentuk, jelas ini kekufuran].

Perlu diketahui bahwa terdapat pemahaman yang menjadi 2 kelompok dalam memahami dan menyikapi hadits ini. yaitu:

Kelompok pertama; adalah kelompok yang tidak mempertanyakan tafsirannya (yang artinya mereka mengimani hadits tersebut tanpa meyakini bahwa Allaah sebagai benda yang memiliki bentuk dan juga ukuran.)

Kelompok kedua; adalah kelompok yang dalam memahami makna hadits tersebut mempertanyakan maksud dan tujuannya. Kelompok ini yang mempermasalahkan Dlommir (kata ganti); yaitu kata ganti huruf Hâ’ pada redaksi “صورته”, Kata ganti akan kembali ke manakah dlamîr tersebut?. Dalam menyikapi ini, kelompok kedua ini mempunyai perbedaan pendapat dan terdapat tiga pendapat dalam memahami dlommir tersebut. Yaitu:

1. Pendapat pertama; Kata ganti tersebut kembali kepada seorang manusia yang ada dalam konteks hadits tersebut. Hal ini dikarenakan bahwa konteks hadits tersebut sedang menceritakan bahwa pada suatu ketika, Rasulullaah melewati seseorang yang di hadapan seseorang tersebut tengah memukul wajah temannya. Orang yang telah memukul wajah temannya tersebut berkata temannya (orang yang dipukul): “Semoga Allaah menjadikan buruk terhadap wajahmu dan juga wajah-wajah orang yang menyerupai wajahmu”. Lalu Rasulullaah bersabda: “Jika seorang diantara kalian memukul saudaranya maka hindarilah untuk memukul wajah karena sesungguhnya Allaah telah menciptakan Nabi Adam Alaihissalaam di atas (seperti) bentuknya (Nabi Adam yang sempurna)”.

Dalam hadits tersebut menjelaskan bahwa Nabi Adam secara khusus adalah karena beliau manusia pertama yang dengan bentuk wajah (dan fisik) yang kemudian “diwarisinya” atau turun-temurun oleh seluruh manusia sesudahnya. Jadi, dalam hadits tersebut Rasulullah seakan berkata: “Engkau telah menghinakan wajah Nabi Adam Alaihissalaam, padahal engkau juga berasal dari keturunannya (Nabi Adam)”, dengan demikian ungkapan Rasulullaah ini adalah sebagai peringatan yang sangat kuat dan mendalam. Kesimpulannya adalah dalam pendapat pertama ini, kata ganti (dlomîr) dalam redaksi hadits tersebut kembali kepada orang yang berada dalam konteks hadits tersebut.

Adalah pemahaman yang sangat buruk dan kesalahan fatal jika hadist tersebut dipahami bahwa dlomîr dalam hadits tersebut kembali kepada Allaah (seperti pemahaman kaum Musyabbihah yang seenaknya menyimpulkannya bahwa Allah memiliki bentuk, naudzubillah), oleh karena dalam konteks tersebut bahwa orang yang memukul berkata: “Semoga Allaah menjadikan buruk terhadap wajahmu dan wajah-wajah orang yang menyerupai wajahmu”; lalu dengan demikian jika dipahami bahwa dlomîr dalam hadits tersebut kembali kepada Allaah maka itu artinya dalam pemahaman yang rusak ini bahwa Allah berwajah jelek, (di samping kesesatannya juga menetapkan anggota wajah bagi Allah).

Adapun teks redaksi dari Imam Muslim tentang periwayatan Hadits ini adalah; Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

إذَا  قَاتَلَ أحَدُكُمْ فَلْيَجْتَنب اْلوَجْهَ فَإنّ اللهَ تَعَالَى خَلقَ ءَادم عَلى صُوْرَتِه

2. Pendapat kedua; yang mengatakan bahwa dlomîr “Ha” pada kata “صورته” adalah untuk mengungkapkan dari dua nama yang nyata sebagai makhluk yang memiliki bentuk (shûroh). Oleh karenanya tidak benar jika yang dimaksudkan dengan dlomîr tersebut adalah Allaah, karena telah tetap  dalil bahwa Allaah Ta'ala bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran. Dengan demikian, yang dimaksud dengan “صورة” dalam hadits ini adalah kembali kepada Nabi Adam Alaihis sholaatu wasalaam. Dan makna dari hadits tersebut adalah: 

“Sesungguhnya Allaah telah menciptakan Nabi Adam di atas bentuk (shûrah) sempurna sebagaimana yang telah dikehendaki oleh-Nya pada diri Nabi Adam tersebut, yang tidak melalui proses; tidak dari air mani, lalu segumpal darah (‘Alaqah), dan menjadi segumpal daging (Mudlghah), Ini artinya bahwa penciptaan Nabi Adam itu tidaklah melalui proses seperti pada proses penciptaan anak keturunannya”.  Pendapat ini telah dinyatakan oleh Imam Sulaiman al-Khathabi, juga telah disebutkan oleh Imam Tsa’labah dalam kitab al-Amâlî.

3. Pendapat ketiga, bahwa dlomir “Ha” pada kata “صورته” kembali kepada Allah. Dalam makna ini  terdapat dua pemahaman, yaitu sebagai berikut;

Pemahaman pertama: dalam pengertian milik, maknanya bahwa bentuk (shûrah) Nabi Adam tersebut adalah ciptaan dan milik Allaah (sebagaimana pada ciptaan seluruh alam ini adalah ciptaan Allaah dan milik-Nya). Dalam pemaknaan ini penyandaran kata shûrah kepada dlomir “Ha” (Allaah) mengandung dua makna. Pertama; penyandaran untuk tujuan memuliakan (Idlâfah at-Tasyrîf), sebagi contohnya adalah seperti dalam firman Allah:

وَطَهِّرْ  بَيْتِيَ لِلطّائِفِيْنَ

Pengertian “بيتي” (yang secara literal bermakna “rumah-Ku”; yang dimaksud adalah ka’bah) dalam ayat ini bukan artinya Allaah berada di dalam ka’bah, tidak sama sekali, tetapi dalam pengertian bahwa rumah tersebut (Ka’bah) adalah rumah (Ka'bah) yang dimuliakan oleh Allah (sebagai Bait Musyarraf Alâ Allâh). Kedua; adalah penyandaran yang bertujuan mengungkapkan bahwa Allah yang telah menciptakan bentuk Nabi Adam tersebut di mana bentuk tersebut tidak pernah ada sebelumnya.

Pemahaman kedua: yang memahami bahwa makna “الصورة” dalam hadits tersebut dalam pengertian  “الصفة” (sifat). Hal ini, Di Dalam ilmu bahasa Arab jika dikatakan: “هذا صورة هذا  الأمر” maka maknanya adalah “صفة الأمر” (arti perkataan tersebut; “Ini adalah  gambaran (sifat) dari masalah itu”). Dalam pemahaman ini maka pemaknaan hadits tersebut adalah bahwa Allaah yang telah menciptakan Nabi Adam dengan sifat-sifat yang boleh disandarkan kepada makhluk, yaitu seperti sifat hidup  (al-Hayât), berilmu (al-‘Ilm), memiliki kemampuan (al-Qudrah), mendengar (as-Sama’), melihat (al-Bashar), dan  berkehandak (al-Irâdah). Ini artinya; sifat-sifat ini serupa dengan sifat-sifat Allah dari segi lafazh-nya saja, akan tetapi tentu berbeda dari segi makna, inilah yang disebut dengan Ittifâq Bi al-Lafzh Dûna al-Ma’nâ. Dengan sifat-sifat inilah, Allaah menjadikan Manusia pertama, Nabi Adam, memiliki keistimewaan dibanding makhluk lainnya, bahkan lebih dari itu, diistimewakan di atas para Malaikat sehingga Allah memerintahkan mereka (para malaikat dan jin) untuk sujud hormat (bukan sujud ibadah) kepadanya. Dengan demikian, hal ini adapat dijadikan pemahaman bahwa kata “shûrah” di sini secara maknawi, bukan dalam pengertian fisik yang berarti bentuk, susunan, dan benda.

Sementara itu, ada beberapa orang seperti Abu Muhammad ibn Qutaybah memahami hadits ini dengan pemahaman yang sangat-sangat buruk, Abu Muhammad berkata: “Allah memiliki bentuk, dan bentuk-Nya tidak seperti segala bentuk, dan Allah menciptakan Nabi Adam seperti  bentuk-Nya tersebut”. Ini jelas pemahaman yang rusak. Pemahamannya ini sangatlah tidak logis dan sangat rancu, padahal  ungkapan seperti itu sama saja dengan mengatakan bahwa Allaah menciptakan Nabi Adam Alaihissalaam dengan bentuk seperti bentuk Allah. Na’ûdzu billaâh.

Ada lagi, al-Qâdlî Abu Ya’la diberi gelar al-Mujassim dalam memahami hadits ini juga ia berkata: “Kita katakan bahwa Allaah memiliki bentuk yang tidak menyerupai segala bentuk, sebagaimana kita mengatakan Allaah adalah Dzat yang tidak menyerupai segala dzat”. Pemahaman ini juga sangat rusak.

Ungkapan Abu Ya’la ini juga tidaklah logis dan sangat rancu. Sesungguhnya makna “الذات” secara bahasa adalah “الشىء” (yang artinya “sesuatu”), sementara makna “الصورة” dalam bahasa adalah bentuk, susunan, dan tataan yang membutuhkan kepada yang siapa yang menjadikannya dalam susunan tersebut. Perkataan mereka (yakni Ibnu Qutaybah dan Abu Ya’la): “...bentuk-Nya tidak seperti segala  bentuk” adalah perkataan yang menyalahi ungkapan sebelumnya, yaitu; “Allah adalah bentuk”. Plin plan mereka ini. Perkataan ini persis seperti ungkapan: “Allaah adalah tubuh (jism) yang tidak menyerupai segala tubuh” (Jelas ungkapan yang sangat kontradiktif). Perlu diketahui bahwa tubuh atau bentuk (jism) dalam pengertian bahasa adalah sesuatu yang tersusun dari dua benda (jawhar) atau lebih. Oleh Karena itu, ungkapan mereka tadi: “...tubuh-Nya tidak menyerupai segala tubuh” jelas sudah menyalahi ungkapan sebelumnya; “Allah adalah tubuh”.  Na’ûdzu billaâh min dzalik.

Posting Komentar untuk "Jangan Pernah Memukul atau menampar Wajah Seseorang"