Tidak Mudah Mengkafirkan adalah Ciri Ahlussunnah Wal Jamaah
Ada banyak golongan yang mengaku bahwa mereka ahlussunnah wal jamaah. Namun seringkali kita jumpai sikap mengkafirkan tanpa bukti yang syar'i kepada sesama muslim ini ada dimana mana dan bahkan ada di sekitar kita.
Adalah merupakan fakta yang tidak terbantahkan, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, bahwa Ummat Nabi Muhammad shollallaahu Alaihi Wasallam ini telah terpecah belah di masa-masa awal. Di akhir pemerintahan Sayyidina Ali bin Abi Thalib juga telah menyempal beberapa kelompok sempalan dari mayoritas Ummat Nabi Muhammad seperti kelompok Khawarij, Syi’ah dan lain sebagainya.
Dengan berlalunya waktu, kelompok-kelompok sesat tersebut, kelompok-kelompok menyimpang ini terus bermunculan. Tidak bisa dikatakan bahwa semua kelompok menyimpang ini muslim, atau pun semua kelompok itu benar, juga tidak boleh dikatakan semua kelompok itu selamat, karena Nabi Muhammad Shollallaahu Alaihi Wasallam bersabda:
افْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَسَتَفْتَرِقُ هَذِهِ الْأُمَّةُ إِلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِى النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً وَهِىَ الْجَمَاعَةُ.
“Orang-orang Yahudi terpecah belah menjadi 71 golongan, dan orang-orang Nasrani terpecah belah menjadi 72 golongan dan ummat ini akan terpecah belah menjadi 73 golongan, seluruhnya masuk neraka kecuali hanya satu golongan, yaitu golongan al-Jama’ah.” (HR. Abu Dawud dalam sunannya)
Para ulama’ menyepakati bahwa perpecahan yang dimaksud bukanlah perbedaan dalam bidang furu’(fiqh). Perbedaan dalam bidang furu’ (fiqh) sudah terjadi di kalangan para sahabat Nabi dan generasi salaf tanpa ada yang mengingkarinya. Demikian juga perbedaan dalam furu’ ini jauh dari klaim sesat dan kafir terhadap kelompok lain sehingga tidak menimbulkan efek perpecahan sama sekali.
Akan tetapi, ke-72 golongan tersebut tidak bisa dikatakan semuanya benar dan semua ajarannya adalah ajaran Islam. Karena Nabi tidak mengatakan semuanya akan selamat. Nabi mengatakan semuanya akan masuk neraka kecuali hanyalah satu golongan, yaitu al-Jama’ah; golongan mayoritas di kalangan ummat Nabi Muhammad.
Golongan yang selamat, yaitu jumlah mayoritas ini kemudian dikenal dengan istilah Ahlussunnah Waljama’ah dan 72 golongan tersebut adalah golongan yang menyimpang dan sesat. Menyebarnya golongan yang menyimpang dan sesat setelah tahun 260 H, seperti Mu’tazilah dan Musyabbihah. Kemudian muncullah dua tokoh imam yang agung, yaitu Abu al-Hasan al-Asy’ari (W. 324 H) dan Abu Manshur al-Maturidi (W. 333 H) menjelaskan aqidah Ahlussunnah Waljama’ah yang diyakini para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka. Sehingga Ahlussunnah Waljama’ah disandarkan kepada keduanya. Akhirnya mereka (Ahlussunnah) dikenal dengan nama al-Asy’ariyyun (para pengikut al-Asy’ari) dan al-Maturidiyyun (para pengikut al-Maturidi).
Prinsip-prinsip Aqidah Ahlussunnah Walajama’ah adalah:
1. Mengenal Allah dan Rasul-Nya
Mengenal Allah adalah mengetahui dan meyakini bahwa Allah ada, tanpa keraguan sedikitpun. Allah ada tanpa permulaan, sebelum segala sesuatu ada. Allah Ta'ala tidak menyerupai sesuatu pun di antara makhluk-Nya. Allah adalah pencipta segala sesuatu.
Mengenal Rasulullah adalah mengetahui dan meyakini bahwa Nabi Muhammad bin Abdullah adalah utusan Allah. Ia senantiasa jujur dan benar dalam segala hal yang disampaikan. dan semua para Nabi dan Rosul adalah jujur dan benar dalam segala hal yang disampaikannya.
Orang yang telah meyakini sepenuhnya dua hal tersebut tanpa keraguan sedikitpun, maka ia telah mengenal Allah dan Rasul-Nya, ia telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, baik ia mengetahui dalil akal tentang hal itu atau tidak.
2. Mensucikan Allah dari menyerupai makhluk-Nya (Tanzih)
Maksudnya adalah meyakini bahwa Allah tidak menyerupai makhluk-Nya pada Dzat, sifat dan perbuatan-Nya.
Dzat Allah bukanlah benda yang memiliki ukuran besar atau kecil, Dzat Allah bukanlah benda yang bisa dipegang dengan tangan (seperti manusia, pepohonan, tumbuh-tumbuhan) dan juga bukan benda yang tidak bisa dipegang oleh tangan (seperti cahaya, kegelapan, roh, angin dan sebagainya).
Sifat-sifat Allah tidak menyerupai sifat makhluk-Nya, jika ada persamaan lafazh, maka tidak berarti sifat-sifat Allah menyerupai sifa-sifat makhluk-Nya, melainkan itu hanyalah lafazh yang sama, namun maknanya berbeda (seperti Allah mempunyai sifat maha melihat, maka melihatnya Allah berbeda dengan manusia. Manusia melihat dengan mata, membutuhkan cahaya dan jarak. Sedangkan Allah melihat tanpa mata, tidak membutuhkan cahaya dan tidak membutuhkan jarak; dekat atau jauh).
Perbuatan Allah azali, bukan dengan bergerak, menyentuh, mengangkat, menggunakan alat dan semacamnya. Allah menciptakan segala sesuatu dengan kehendak dan kekuasaan-Nya yang tidak memiliki permulaan (azali).
Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah
3. Menetapkan sifat-sifat yang layak bagi Allah
Di antara sekian banyak sifat-sifat Allah, sifat-sifat Allah yang wajib diketahui oleh setiap orang mukallaf adalah sifat Allah yang 13 (sifat 20). Hal ini ditegaskan oleh para ulama’ salaf dan khalaf seperti al-Imam Abu Hanifah dalam al-Fiqh al-Akbar, al-Imam an-Nawawi dalam al-Maqashid dan para ulama’ lainnya. Ini dikarenakan 13 sifat (sifat 20) tersebut adalah syarat ketuhanan, seandainya Allah tidak memiliki sifat-sifat 13 tersebut niscaya alam ini tidak akan ada.
Selain sifat-sifat Allah yang 13 tersebut, masih ada sifat-sifat Allah yang lain seperti SIFAT AL-AF’AL (sifat at-Takwin seperti sifat penciptaan, sifat pemberi rizqi, sifat yang menghidupkan, sifat yang mematikan, dan lainnya) dan SIFAT KHABARIYAYAH (seperti al-Wajh, al-Ain dan al-Yad yang bukan bermakna anggota badan atau bagian tubuh, tetapi memiliki makna yang layak bagi Allah). Terkadang sifat-sifat tersebut boleh ditakwil untuk menghindarkan orang awam dari pemahaman tasybih dan jismiyyah. Ada dua metode yang ditempuh para ulama; yaitu;
Pertama metode TAKWIL TAFSHILI, seperti kata istawa maknanya qahara (menundukkan dan menguasai). Takwil Tafshili ini adalah metode sebagian ulama’ salaf seperti Ibnu Abbas, Mujahid, al-Awza’i, Sufyan ats-Tsauri, Malik Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari dan lainnya dan juga metode ulama’ khalaf.
Kedua metode TAKWIL IJMALI, seperti menetapkan al-Wajh bagi Allah sebagai sifat bukan sebagai bentuk dan gambar. Menetapkan sifat al’Ayn bagi Allah sebagai sifat bukan dari sisi sebagai kelopak mata. Dan menetapkan al-Yad bagi Allah sebagai sifat bukan sebagai anggota badan. Takwil ijmali adalah metode mayoritas ulama’ salaf.
4. Perbuatan hamba adalah ciptaan Allah Ta'ala
Aqidah Islam menetapkan bahwa seorang hamba memiliki perbuatan yang dilakukannya dengan kehendaknya, dan Allah yang menciptakannya, bukan hamba.
5. Tidak mengkafirkan seorang muslim karena berbuat dosa
Kita, Ahulussunnah Wal Jamaah, tidak mengkafirkan seorangpun di antara kaum muslimin karena perbuatan dosa yang dilakukannya selama ia tidak menghalalkannya, sikap Ahlussunnah Wal Jamaah juga tidak mengatakan selama orang beriman dosa apapun yang dilakukannya tidak membahayakannya. (lihat Abdullah al-Harari, Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, hlm 247)
Ahlussunnah Wal Jamaah bersikap untuk selalu menjaga kebersamaan dan memperbaiki umat, bukan menghancurkan. Kata "al-jamaah" dapat diartikan menjaga kebersamaan dan juga kerukunan. Adapun perbedaan pendapat di kalangan para ulama aswaja tidaklah melahirkan sikap yang saling mengkafirkan, maupun membid'ahkan. Imam At Thohawi juga mengatakan:
لا يخرج العبد من الإيمان الا بجحود ما أدخله فيه
maknanya: "Tidak-lah seorang hamba keluar dari keimanan-nya —sebab berbuat dosa--, kecuali karena mengingkari apa yang menjadikan-nya beriman. [ Al ^Allämah Hujjatul Isläm Abü Ja^far At Thohäwi Mesir -rodliyaLlöhu ^anhu-].
Pengingkaran inilah yang disebut takdzïb [mendustakan ALlöh dan RosüluLöh]. Baik terjadi karena mengucapkan kalimat yang di dalam nya terdapat kekufuran yang maknanya jelas dan tunggal [shorïh] atau mendustakan secara tidak langsung [dlimnan]. Yang kedua [takdzïb dlimnan] bisa terjadi pada perbuatan dan keyakinan.
Jadi perlu dicatat bahwa Ahlussunnah wal Jama'ah tidak mudah mengkafirkan sebagaimana khowärij. Namun para ulama nya juga mengawal dengan ikhlas dan ketat agar mereka tidak rusak keimanannya
6. Prinsip-prinsip keimanan yang enam
Selain beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, masih ada prinsip-prinsip keyakinan yang harus diyakini oleh setiap mukallaf. Di antaranya adalah beriman kepada para malaikat, beriman kepada para nabi dan rasul, beriman kepada kitab-kitab Allah, beriman kepada hari akhir dan beriman kepada Qadar Allah. Enam prinsip keyakinan ini dikenal dengan Ushul al-Iman as-Sittah (pilar-pilar iman yang enam)
7. Kepemimpinan ummat
Ahlussunnah Waljama’ah menyatakan bahwa mengangkat seorang pemimpin ummat adalah sebuah kewajiban, namun bukan merupakan salah satu di antara rukun Islam maupun rukun Iman. Kewajiban ini berlaku saat kaum muslimin mampu melaksanakannya dan kondisi memungkinkan, yakni dengan mempertimbangkan kemaslahatan sehingga tidak akan mengancam dan membahayakan keselamatan dan kepentingan ummat secara umum.
Semoga Allah senantiasa memberikan hidayah, taufiq dan inayah kepada kita, sehingga kita menjadi hamba yang diridhai dan menjadi ummat Nabi Muhammad yang dibanggakan, aamiin.
Posting Komentar untuk "Tidak Mudah Mengkafirkan adalah Ciri Ahlussunnah Wal Jamaah"