Ziarah Mbah Malik Kedung Paruk Purwokerto
sudah sering kali, saya berziarah ke Mbah Malik Kedung Paruk Purwokerto ini. safari ziarah saya yang kedua Alhamdulillah bisa ketemu dan mengenal putra mbah malik yang meneruskan di Kedung Paruk, bernama Kiyai H. Muhammad Ilyas bin Malik bin Muhammad Ilyas (Mbah Ilyas). Akan tetapi, sekitar tahun 2016 M kemarin beliau wafat. dan sekarang diteruskan oleh putranya (cucu Mbah Malik) bernama Gus Subkhi Asad. Walaupun sekarang jarang komunikasi dengan beliau.
Pada masa Mbah Ilyas, sudah terdapat tradiri hampar tikar saat proses melahirkan. Tradisi ini sudah meluas ke seluruh Banyumas. saat itu, istri muda dari mbah ilyas sedang melahirkan, sehingga dihamparkan tikar sebagai proses persalinannya. Ajaib, jabang bayi tidak mau lahir di hamparan tikar, Mbah ilyas menyuruh pindah istrinya ke tempat tidur yang ada di kamar. Akhirnya jabang bayi lahir laki-laki. Bayi ini dipegang mbah ilyas dan diberi nama Muhammad Ash'ad (maknanya: Muhammad yang naik derajatnya). inilah doa orangtua yang saat itu sudah digelar tikar tetapi naik ke tempat tidur sehingga dengan sigap mbah ilyas beri nama demikian. Lahir di Kedung Paruk, Purwokerto, tepat hari Jum'at, 3 Rojab 1294 H (1881 M). Dan Jabang bayi ini ketika sudah dewasa malah terkenal dengan nama Syaikh Muhammad Abdul Malik, Kedung Paruk, Purwokerto.
Karena Mbah Ilyas keturunan dari Pangeran Diponegoro, jadi secara otomatis beliau juga mewarisi garis nasabnya dan secara alamiah ia juga mewarisi ilmu dari Ayahnya dan juga leluhurnya. Berikut silsilahnya atas dasar ”Surat Kekancingan” dari Kraton Yogyakarta (pada Mbah Ilyas), yaitu KH Muhammad Ash’ad, Abdul Malik bin KH Muhammad Ilyas bin Raden Mas (RM) Haji Ali Dipowongso bin (putra Diponegoro) HPA. Diponegoro II bin (Pangeran Diponegoro) HPA. Diponegoro I (Abdul Hamid) bin Kanjeng Sultan (S) Hamengku Buwono III Yogyakarta. Dan asal usul Nama "Abdul Malik" didapat dari mbah Ilyas mengajaknya beribadah haji bersama. Sehingga saat itu dipanggil Abdul Malik (Mbah Malik).
Mbah Malik ketika masih kecil, berguru mengaji dengan mbah Ilyas langsung. karena Mbah Ilyas sebagai orangtua dan tidak ada yang berani mendidik anaknya selain mbah Ilyas sendiri. Khatam mengaji Al-Qur'an dengan ayahnya, Mbah Ilyas, ia mengikuti petunjuk ayahnya untuk mengaji Agama dengan Kiyai Abu bakar bin H Yahya Ngasinan, di daerah Kebasen, Banyumas.
Mbah Malik juga mendapatkan pendidikan agama dari saudara dari Istri Tua Ayahnya di Sokaraja, Purwokerto. Saudaranya bernama Kiyai Muhammad Affandi, beliau saudagar yang kaya raya. saat itu beliau mempunyai lebih dari 2 kapal haji yang dipergunakan untuk berhaji ke Makkah.
Beranjak 18 tahun, Mbah Abdul Malik berangkat ke Makkah mengaji ilmu agama berguru. Mbah Malik belajar mulai dari Tafsir, Hadits, Fiqih, Tasawwuf dan sebagainya. Mbah Malik belajar di Tanah Suci kurang lebih 15 Tahun lamanya. Kemudian ia pulang dan mulai safari dakwahnya, melanjutkan kiprah Ayahnya, Mbah Ilyas, yang saat itu sudah lanjut usia. Dan 5 tahun kemudian Mbah Ilyas wafat dengan Usia 147 Tahun dan kebumikan di Sokaraja Lor.
Mbah Malik muda setelah wafat ayahnya, ia bersafari dakwah ke beberapa daerah dengan berjalan kaki. Safari dakwahnya sampai semarang, pekalongan dan wilayahnya lainnya dan selesai tepat di hari seratus usia wafatnya ayahnya, Mbah Ilyas. dan Kemudian, Mbah Abdul Malik melakukan pengajian rutin di rumahnya Kedung Paruk bersama ibundanya.
Guru Mbah Malik
Syaekh Abdul Malik (mbah Malik) telah banyak berguru, baik itu berada di Indonesia bahkan banyak juga di Tanah Arab. Guru yang di Jawa yaitu Syaekh Muhammad Mahfudz bin Abdullaah at-Tirmisi al-Jawi. Mbah Sholeh Darat Semarang, Habib Ahmad Fad'aq (usia cukup panjang 141 tahun). Habib Aththos bin Abu Bakar Al-Aththos, Habib Muhammad bin Idrus Habsyi ketika di Surabaya. Dan Ketika di Bogor dengan Habib Abdullah bin Muhsin Al Aththos.
Ketika berguru di Makkah adalah dengan Syaikh Umar asSyatho' dan Syaikh Muhammad Syatho', Syaikh Alwi Syihab bin Sholih bin Agil bin Yahya. Syaikh Ahmad Nahrawi dan lain sebagainya. selama disana, Mbah Abdul Malik ini diberi amanah menjadi Wakil Mufti Madzhab Imam Syafi'i, dan prestasinya yang luar biasa, mbah Malik ini diberi kesempatan untuk mengajari ilmu agama di Makkah, termasuk ilmu tafsir dan juga ilmu qira'ah sab'ah.
Safari Dakwah Mbah Malik
mbah Malik ini memulainya dengan berkeliling daerah saat sepeninggalnya Ayahandanya, Mbah Ilyas, sampai pada 100 hari wafat ayahnya. dan kemudian memulai berdakwah saat itu berhadapan langsung dengan belanda. Saking gigihnya berjuang membela bangsa Indonesia. Segala Aktifitas Mbah Malik dipantau oleh pemerintah Belanda saat itu. Dan menjadi Target penangkapan.
Setelah Indonesia Merdeka, Mbah Malik masih gigih berjuang untuk mengusir penjajah, Jepang dan Belanda. dan saat Gestapu, Mbah Malik ini tertangkap PKI ketika safari dakwah di Bumiayu Brebes dan tertangkapnya setelah memberikan aji ilmu kekebalan (kesaktian) kepada laskar (pasukan) Pemuda Islam. Tetapi entah apa, Mbah Malik bisa membebaskan diri setelah tertangkap oleh PKI.
Mbah Abdul Malik selalu mengamalkan dua wirid utama, baca al-Qur’an dan juga baca Sholawat. Kewajiban dan sunnah yang dilakukan inilah menjadikan ia dijunjung tinggi baik kawan maupun lawan.
Mbah Malik menjalin silaturrohim dengan baik kepada para ulama dan para habib, semisal K.H. Hasan Mangli (dari Magelang), Habib Sholeh bin Muhsin alHamid (dari Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bafagih (dari Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi (dari Brani, Probolinggo), dan lainnya.
Diantara ulama-ulama ini yang mengaku menjadi santrinya mbah malik dan sering datang rumah mbah Malik yaitu Syaikh KH Ma’shum (dari Lasem, Rembang). Mbah KH. Dimyathi (dari Comal, Pemalang), K.H. Kholil (dari Sirampog, Brebes), K.H. Anshori (dari Linggapura, Brebes), K.H. Nuh (dari Pageraji, Banyumas sendiri). Ulama-ulama sudah mau menundukan dirinya untuk berguru dengan Syaikh Muhammad Abdul Malik, Kedung Paruk.
Dan diantara para santrinya langsung mbah Malik adalah K.H. Abdul Qadir, Kiyai Sa’id, K.H. Muhammad Ilyas Noor (Cucunya sendiri sebagai mursyid Thariqaah Naqsabandiyyah Al-Kholidiyah), K.H. Sahlan (dari Pekalongan), Drs. Ali Abu Bakar Basholah (dari Yogyakarta), K.H. Hisyam Zaini (dari Jakarta), dan yang sekarang ketua thoriqoh sedunia Al Habib Muhammad Luthfi bin Aly bin Yahya (dari Pekalongan), K.H. Ma’shum (Purwokerto) dan masih banyak lagi santrinya di penjuru nusantara.
Keluarga Mbah Malik
Syaikh Muhammad Ash'ad Abdul Malik bin Muhammad Ilyas (Mbah Ilyas) menikah dengan 3 istri. Istri yang pertama yaitu Nyai H. Warsiti binti Abu Bakar (dikenal Mbah Johar). Istri yang cantik, puteri gurunya, bangsawan Kiyai Abu Bakar bin H. Yahya, Kelewedi, Ngasinan, Kebasen. Mbah Johar (istri pertama) dicerai setelah punya anak laki-laki bernama Ahmad Busyairi (wafat 1953 M, usia 30 tahun). Ahmad Busyairi, pemuda yang wafat dan belum pernah menikah (masih bujang). Wafatnya sudah mendapat isyarat dari Mbah Malik yang waktu itu berkata dengannyauntuk menikah di Syurga saja. alhasil dari tuturan ayahnya pemuda Busyairi senang sekali. dan Akhirnya meninggal dunia.
Istri yang kedua dari mbah Malik, yaitu Mbah Mrenek, janda kaya-raya berasal dari desa Mrenek, Maos Cilacap. Hasil Nikah dengannya tidak melahirkan keturunan. Dan suatu hari, ketika Mbah Malik mau menceraikannya, tetapi Mbah Mrenek meminta untuk tidak menceraikannya dan ingin jadi istri dunia dan akhirat. Akhirnya Mbah Malik mengabulkan permintaannya.
Dan istri yang ketiga yaitu Nyai Hj. Siti Khasanah, wanita elok rupawan tetangganya sendiri Kedung Paruk. Hasil Nikahnya diberi seorang anak perempuan namanya Hj. Siti Khoiriyyah. (wafat 4 tahun setelah Mbah Malik meninggal).
Mbah Muhammad Ilyas Noor selalu menyampaikan pesan (wasiat) kepada para jamaah hadiririn 1) jangan tinggalkan sholat. 2) jangan tinggalkan baca al-Qur'an. 3) jangan tinggalkan baca shalawat. inilah wasiat mbah Malik.
Haul (wafatnya) Mbah Malik tanggal 21 Jumadil Akhir 1400 H / 17 April 1980 M. Syaikh Muhammad Ash'ad Abdul Malik bin Muhammad Ilyas dikebumikan di belakang Masjid Bahaul Haq wa Dhiyauddin, Kedung Paruk, Purwokerto.
Nasionalisme Mbah Malik
Terdapat suatu kisah, dimana kisah ini, pelaku sejarahnya masih hidup, yaitu habib Luthfi, yang waktu itu sebagai murid kesayangan mbah malik. ketika dalam perjalanan, antara tengah jalan daerah Bantarbolang dan daerah Randu dongkal Pemalang, Mbah Malik (KH. Abdul Malik bin Ilyas) ujug ujug memerintahkan supirnya untuk berhenti;
“Bapak Yuti, istirahat dulu,” kata Mbah Malik kepada supirnya, Suyuti, untuk segera menepikan kendaraan mobil untuk beristirahat.
“cari yang adem saja, biar untuk istirahat enak dan gelar tiker,” pinta Mbah Malik.
Waktu itu menunjukkan jam 09.45 WIB. Setelah menghentikan mobilnya, mbah malik, habib Luthfi, dan pak suyuti menggelar tikar untuk beristirahat dan bekal termos (beriisi makanan) juga dihidangkan, kemudian Mbah Malik mengeluarkan sebungkus rokok, khasnya klembak-menyan, lalu diracik mbah Malik sendiri setelah jadi baru dinikmati rokoknya oleh mbah Malik. Dengan menikmati rokoknya, mbah Malik bolak balik lihat Jam yang dibawanya di kantong.
“Dilut maning... (bentar lagi..).” kata mbah Malik.
Habib Luthfi menjadi keheranan. Dan penasaran apa yang dilakukan Gurunya. Karena Mbah Malik bolak balik lihat jam dan berkata sebentar lagi. Tiba-tiba Rokok yang tadi dinikmati dimatikan walaupun belum habis. Semakin kaget Habib Luthfi dan sang supir. Waktu menunjukkan Jam 09.50 WIB.
"Pak Yuti, bib Luthfi, Ayo mriki (mari ke sini)!” kata Mbah Malik.
Kemudian berkumpul mendekat dengan Mbah Malik, lalu dibacakan hadhroh alFatihah untuk Nabi Muhammad Shollallaahu Alaihi Wasallam, para shohabat dan lain lainnya sampai disebutkan nama-nama para pahlawan seperti leluhurnya P. Diponegoro, Sentot Prawirodirjo, Kiyai Mojo, Jend. Sudirman dan para tokoh pahlawan semuanya.
Tepat jam 10.00 WIB, Mbah Malik (mursyid thariqah) diam sejenak dan setelah itu mengangkat tangan dan berdoa "Allohummaghfirlahuum warhamhuum...dst'. Sesudah itu, Habib Luthfi Yahya memberanikan diri dan bertanya kepada gurunya tersebut ada apa kiranya mbah berbuat semacam itu,
“Mbah Malik, wonten nopo ta (Maaf, ada apa mbah)?”
“nopo niki jam 10, niku nopo namine, Pak SuKarno, Pak Hatta rumiyin maos nopo (Ingat dulu, Jam 10 Bpak SoeKarno dan Pak Hatta baca apa)?” jawab Mbah malik dan juga bertanya untuk mengingatkan habib luthfi.
“Baca Proklamasi, Mbah,” kata Habib Luthfi Yahya.
“Ya leres niku, kitho niku madep mantep menghormati (ya benar itu, kita disini duduk sejenak untuk mengingat dan menghormati),” kata Mbah Malik.
Inilah bentuk penanaman Nasionalisme kepada muridnya, Habib Luthfi yahya yang sekarang Habib Luthfi juga intens terus untuk selalu mengingatkan kepada para warga Indonesia dimanapun berada untuk mencintai negara Kesatuan Indonesia. Ila Hadroti Mbah Malik dan para pahlawan lahumul Faatihah.
Pada masa Mbah Ilyas, sudah terdapat tradiri hampar tikar saat proses melahirkan. Tradisi ini sudah meluas ke seluruh Banyumas. saat itu, istri muda dari mbah ilyas sedang melahirkan, sehingga dihamparkan tikar sebagai proses persalinannya. Ajaib, jabang bayi tidak mau lahir di hamparan tikar, Mbah ilyas menyuruh pindah istrinya ke tempat tidur yang ada di kamar. Akhirnya jabang bayi lahir laki-laki. Bayi ini dipegang mbah ilyas dan diberi nama Muhammad Ash'ad (maknanya: Muhammad yang naik derajatnya). inilah doa orangtua yang saat itu sudah digelar tikar tetapi naik ke tempat tidur sehingga dengan sigap mbah ilyas beri nama demikian. Lahir di Kedung Paruk, Purwokerto, tepat hari Jum'at, 3 Rojab 1294 H (1881 M). Dan Jabang bayi ini ketika sudah dewasa malah terkenal dengan nama Syaikh Muhammad Abdul Malik, Kedung Paruk, Purwokerto.
Karena Mbah Ilyas keturunan dari Pangeran Diponegoro, jadi secara otomatis beliau juga mewarisi garis nasabnya dan secara alamiah ia juga mewarisi ilmu dari Ayahnya dan juga leluhurnya. Berikut silsilahnya atas dasar ”Surat Kekancingan” dari Kraton Yogyakarta (pada Mbah Ilyas), yaitu KH Muhammad Ash’ad, Abdul Malik bin KH Muhammad Ilyas bin Raden Mas (RM) Haji Ali Dipowongso bin (putra Diponegoro) HPA. Diponegoro II bin (Pangeran Diponegoro) HPA. Diponegoro I (Abdul Hamid) bin Kanjeng Sultan (S) Hamengku Buwono III Yogyakarta. Dan asal usul Nama "Abdul Malik" didapat dari mbah Ilyas mengajaknya beribadah haji bersama. Sehingga saat itu dipanggil Abdul Malik (Mbah Malik).
Mbah Malik ketika masih kecil, berguru mengaji dengan mbah Ilyas langsung. karena Mbah Ilyas sebagai orangtua dan tidak ada yang berani mendidik anaknya selain mbah Ilyas sendiri. Khatam mengaji Al-Qur'an dengan ayahnya, Mbah Ilyas, ia mengikuti petunjuk ayahnya untuk mengaji Agama dengan Kiyai Abu bakar bin H Yahya Ngasinan, di daerah Kebasen, Banyumas.
Mbah Malik juga mendapatkan pendidikan agama dari saudara dari Istri Tua Ayahnya di Sokaraja, Purwokerto. Saudaranya bernama Kiyai Muhammad Affandi, beliau saudagar yang kaya raya. saat itu beliau mempunyai lebih dari 2 kapal haji yang dipergunakan untuk berhaji ke Makkah.
Beranjak 18 tahun, Mbah Abdul Malik berangkat ke Makkah mengaji ilmu agama berguru. Mbah Malik belajar mulai dari Tafsir, Hadits, Fiqih, Tasawwuf dan sebagainya. Mbah Malik belajar di Tanah Suci kurang lebih 15 Tahun lamanya. Kemudian ia pulang dan mulai safari dakwahnya, melanjutkan kiprah Ayahnya, Mbah Ilyas, yang saat itu sudah lanjut usia. Dan 5 tahun kemudian Mbah Ilyas wafat dengan Usia 147 Tahun dan kebumikan di Sokaraja Lor.
Mbah Malik muda setelah wafat ayahnya, ia bersafari dakwah ke beberapa daerah dengan berjalan kaki. Safari dakwahnya sampai semarang, pekalongan dan wilayahnya lainnya dan selesai tepat di hari seratus usia wafatnya ayahnya, Mbah Ilyas. dan Kemudian, Mbah Abdul Malik melakukan pengajian rutin di rumahnya Kedung Paruk bersama ibundanya.
Guru Mbah Malik
Syaekh Abdul Malik (mbah Malik) telah banyak berguru, baik itu berada di Indonesia bahkan banyak juga di Tanah Arab. Guru yang di Jawa yaitu Syaekh Muhammad Mahfudz bin Abdullaah at-Tirmisi al-Jawi. Mbah Sholeh Darat Semarang, Habib Ahmad Fad'aq (usia cukup panjang 141 tahun). Habib Aththos bin Abu Bakar Al-Aththos, Habib Muhammad bin Idrus Habsyi ketika di Surabaya. Dan Ketika di Bogor dengan Habib Abdullah bin Muhsin Al Aththos.
Ketika berguru di Makkah adalah dengan Syaikh Umar asSyatho' dan Syaikh Muhammad Syatho', Syaikh Alwi Syihab bin Sholih bin Agil bin Yahya. Syaikh Ahmad Nahrawi dan lain sebagainya. selama disana, Mbah Abdul Malik ini diberi amanah menjadi Wakil Mufti Madzhab Imam Syafi'i, dan prestasinya yang luar biasa, mbah Malik ini diberi kesempatan untuk mengajari ilmu agama di Makkah, termasuk ilmu tafsir dan juga ilmu qira'ah sab'ah.
Safari Dakwah Mbah Malik
mbah Malik ini memulainya dengan berkeliling daerah saat sepeninggalnya Ayahandanya, Mbah Ilyas, sampai pada 100 hari wafat ayahnya. dan kemudian memulai berdakwah saat itu berhadapan langsung dengan belanda. Saking gigihnya berjuang membela bangsa Indonesia. Segala Aktifitas Mbah Malik dipantau oleh pemerintah Belanda saat itu. Dan menjadi Target penangkapan.
Setelah Indonesia Merdeka, Mbah Malik masih gigih berjuang untuk mengusir penjajah, Jepang dan Belanda. dan saat Gestapu, Mbah Malik ini tertangkap PKI ketika safari dakwah di Bumiayu Brebes dan tertangkapnya setelah memberikan aji ilmu kekebalan (kesaktian) kepada laskar (pasukan) Pemuda Islam. Tetapi entah apa, Mbah Malik bisa membebaskan diri setelah tertangkap oleh PKI.
Mbah Abdul Malik selalu mengamalkan dua wirid utama, baca al-Qur’an dan juga baca Sholawat. Kewajiban dan sunnah yang dilakukan inilah menjadikan ia dijunjung tinggi baik kawan maupun lawan.
Mbah Malik menjalin silaturrohim dengan baik kepada para ulama dan para habib, semisal K.H. Hasan Mangli (dari Magelang), Habib Sholeh bin Muhsin alHamid (dari Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bafagih (dari Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi (dari Brani, Probolinggo), dan lainnya.
Diantara ulama-ulama ini yang mengaku menjadi santrinya mbah malik dan sering datang rumah mbah Malik yaitu Syaikh KH Ma’shum (dari Lasem, Rembang). Mbah KH. Dimyathi (dari Comal, Pemalang), K.H. Kholil (dari Sirampog, Brebes), K.H. Anshori (dari Linggapura, Brebes), K.H. Nuh (dari Pageraji, Banyumas sendiri). Ulama-ulama sudah mau menundukan dirinya untuk berguru dengan Syaikh Muhammad Abdul Malik, Kedung Paruk.
Dan diantara para santrinya langsung mbah Malik adalah K.H. Abdul Qadir, Kiyai Sa’id, K.H. Muhammad Ilyas Noor (Cucunya sendiri sebagai mursyid Thariqaah Naqsabandiyyah Al-Kholidiyah), K.H. Sahlan (dari Pekalongan), Drs. Ali Abu Bakar Basholah (dari Yogyakarta), K.H. Hisyam Zaini (dari Jakarta), dan yang sekarang ketua thoriqoh sedunia Al Habib Muhammad Luthfi bin Aly bin Yahya (dari Pekalongan), K.H. Ma’shum (Purwokerto) dan masih banyak lagi santrinya di penjuru nusantara.
Keluarga Mbah Malik
Syaikh Muhammad Ash'ad Abdul Malik bin Muhammad Ilyas (Mbah Ilyas) menikah dengan 3 istri. Istri yang pertama yaitu Nyai H. Warsiti binti Abu Bakar (dikenal Mbah Johar). Istri yang cantik, puteri gurunya, bangsawan Kiyai Abu Bakar bin H. Yahya, Kelewedi, Ngasinan, Kebasen. Mbah Johar (istri pertama) dicerai setelah punya anak laki-laki bernama Ahmad Busyairi (wafat 1953 M, usia 30 tahun). Ahmad Busyairi, pemuda yang wafat dan belum pernah menikah (masih bujang). Wafatnya sudah mendapat isyarat dari Mbah Malik yang waktu itu berkata dengannyauntuk menikah di Syurga saja. alhasil dari tuturan ayahnya pemuda Busyairi senang sekali. dan Akhirnya meninggal dunia.
Istri yang kedua dari mbah Malik, yaitu Mbah Mrenek, janda kaya-raya berasal dari desa Mrenek, Maos Cilacap. Hasil Nikah dengannya tidak melahirkan keturunan. Dan suatu hari, ketika Mbah Malik mau menceraikannya, tetapi Mbah Mrenek meminta untuk tidak menceraikannya dan ingin jadi istri dunia dan akhirat. Akhirnya Mbah Malik mengabulkan permintaannya.
Dan istri yang ketiga yaitu Nyai Hj. Siti Khasanah, wanita elok rupawan tetangganya sendiri Kedung Paruk. Hasil Nikahnya diberi seorang anak perempuan namanya Hj. Siti Khoiriyyah. (wafat 4 tahun setelah Mbah Malik meninggal).
Mbah Muhammad Ilyas Noor selalu menyampaikan pesan (wasiat) kepada para jamaah hadiririn 1) jangan tinggalkan sholat. 2) jangan tinggalkan baca al-Qur'an. 3) jangan tinggalkan baca shalawat. inilah wasiat mbah Malik.
Haul (wafatnya) Mbah Malik tanggal 21 Jumadil Akhir 1400 H / 17 April 1980 M. Syaikh Muhammad Ash'ad Abdul Malik bin Muhammad Ilyas dikebumikan di belakang Masjid Bahaul Haq wa Dhiyauddin, Kedung Paruk, Purwokerto.
Nasionalisme Mbah Malik
Terdapat suatu kisah, dimana kisah ini, pelaku sejarahnya masih hidup, yaitu habib Luthfi, yang waktu itu sebagai murid kesayangan mbah malik. ketika dalam perjalanan, antara tengah jalan daerah Bantarbolang dan daerah Randu dongkal Pemalang, Mbah Malik (KH. Abdul Malik bin Ilyas) ujug ujug memerintahkan supirnya untuk berhenti;
“Bapak Yuti, istirahat dulu,” kata Mbah Malik kepada supirnya, Suyuti, untuk segera menepikan kendaraan mobil untuk beristirahat.
“cari yang adem saja, biar untuk istirahat enak dan gelar tiker,” pinta Mbah Malik.
Waktu itu menunjukkan jam 09.45 WIB. Setelah menghentikan mobilnya, mbah malik, habib Luthfi, dan pak suyuti menggelar tikar untuk beristirahat dan bekal termos (beriisi makanan) juga dihidangkan, kemudian Mbah Malik mengeluarkan sebungkus rokok, khasnya klembak-menyan, lalu diracik mbah Malik sendiri setelah jadi baru dinikmati rokoknya oleh mbah Malik. Dengan menikmati rokoknya, mbah Malik bolak balik lihat Jam yang dibawanya di kantong.
“Dilut maning... (bentar lagi..).” kata mbah Malik.
Habib Luthfi menjadi keheranan. Dan penasaran apa yang dilakukan Gurunya. Karena Mbah Malik bolak balik lihat jam dan berkata sebentar lagi. Tiba-tiba Rokok yang tadi dinikmati dimatikan walaupun belum habis. Semakin kaget Habib Luthfi dan sang supir. Waktu menunjukkan Jam 09.50 WIB.
"Pak Yuti, bib Luthfi, Ayo mriki (mari ke sini)!” kata Mbah Malik.
Kemudian berkumpul mendekat dengan Mbah Malik, lalu dibacakan hadhroh alFatihah untuk Nabi Muhammad Shollallaahu Alaihi Wasallam, para shohabat dan lain lainnya sampai disebutkan nama-nama para pahlawan seperti leluhurnya P. Diponegoro, Sentot Prawirodirjo, Kiyai Mojo, Jend. Sudirman dan para tokoh pahlawan semuanya.
Tepat jam 10.00 WIB, Mbah Malik (mursyid thariqah) diam sejenak dan setelah itu mengangkat tangan dan berdoa "Allohummaghfirlahuum warhamhuum...dst'. Sesudah itu, Habib Luthfi Yahya memberanikan diri dan bertanya kepada gurunya tersebut ada apa kiranya mbah berbuat semacam itu,
“Mbah Malik, wonten nopo ta (Maaf, ada apa mbah)?”
“nopo niki jam 10, niku nopo namine, Pak SuKarno, Pak Hatta rumiyin maos nopo (Ingat dulu, Jam 10 Bpak SoeKarno dan Pak Hatta baca apa)?” jawab Mbah malik dan juga bertanya untuk mengingatkan habib luthfi.
“Baca Proklamasi, Mbah,” kata Habib Luthfi Yahya.
“Ya leres niku, kitho niku madep mantep menghormati (ya benar itu, kita disini duduk sejenak untuk mengingat dan menghormati),” kata Mbah Malik.
Inilah bentuk penanaman Nasionalisme kepada muridnya, Habib Luthfi yahya yang sekarang Habib Luthfi juga intens terus untuk selalu mengingatkan kepada para warga Indonesia dimanapun berada untuk mencintai negara Kesatuan Indonesia. Ila Hadroti Mbah Malik dan para pahlawan lahumul Faatihah.
Posting Komentar untuk "Ziarah Mbah Malik Kedung Paruk Purwokerto"