Seseorang Menjadi Wali karena Kentut seorang perempuan
Suatu hari, seorang laki-laki yang berjualan di toko sedang menjajakan dagangannya. Kemudian datanglah seorang perempuan yang mau berbelanja, namun ketika mau menawar barang, si perempuan ini tiba tiba kentut dengan sangat keras yang di dengar oleh penjualnya.
Pedagang ini mengetahui syariat agama dengan baik bahwa hasil transaksi/jualannya akan menjadi haram jika pembeli ini menjadi malu karena kentutnya dan terpaksa membeli barang dagangannya. Akhirnya penjual ini, pura pura tidak mendengar. Dan ketika si perempuan ini menawarkan barangnya, si penjual pura pura tidak mendengarkan perkataan si perempuan.
Diulangilah penawaran si perempuan ketika hendak membeli tetapi si penjual ini pura pura tidak mendengarnya, sehingga si perempuan ini merasa kalo dirinya kentut itu tidak didengar oleh penjual sehingga hatinya kembali senang karena tidak malu.
Kemudian suara perempuan agak diperkeras agar si penjual mendengar penawaran yang dilakukannya. Akhirnya si penjual tersebut menyahut dan mendengar penawarannya. Dan terjadilah akad jual beli diantara keduanya.
Kisah ini adalah kisah nyata yang terdapat di berbagai kitab, dan kitab yang sering dikaji di pesantren adalah kitab nashoihul ibad. Dalam kitab itu, Imam Al Ghazali meriwayatkan kisah ini dan menjelaskan seluk beluk dari kisah tersebut.
Laki-laki penjual itu bernama Hatim Al Asham, nama al Asham adalah julukannya karena ia dianggap tuli oleh masyarakat. Namun Imam Al Ghazali menjelaskan bahwa Al Asham ini adalah gelar kewalian karena ia sebenarnya tidak tuli beneran, tetapi karena menjaga marwah si perempuan yang hendak membeli. Jika ia membeli dengan rasa malu maka hasil akad jual belinya menjadi haram. oleh karena itu Hatim Al Asham ini pura pura tidak mendengar dengan tujuan mengembalikan marwah si pembeli perempuan tersebut agar tidak malu ketika melakukan jual beli, sehingga ketika akad jual beli menjadi sah dan halal. Dari sinilah, Hatim Al Asham diangkat menjadi seorang Wali Allah, karena memiliki ilmu agama dengan baik, sampai dia bisa mempraktikkan di kehiduapannya untuk mencari rezeki yang Halal.
Dari kejadian inilah hatim al Ashom menjadikan kebiasannya meminta lawan bicaranya agak keras suaranya agar bisa didengar oleh lawan bicaranya sampai ia meninggal dunia. Namun sebenarnya beliau tidak lah tuli.
Dari kisah ini dapat diambil pelajaran bahwa:
1. ketika berdagang haruslah memperhatikan syarait islam, tata cara berdagang dengan benar dan sah dan yang paling penting memperoleh kehalalan dari hasil jual belinya.
2. menjaga martabat lawan bicaranya ketika melakukan jual beli. seorang pembeli tidak boleh menjelekkan penjual, demikian juga penjual tidak boleh menjelekkan pembeli.
3. seorang pembeli dan penjual hendaknya belajar ilmu agama tentang bab muamalat sebelum melakukan transaksi jual beli agar tidak terjatuh pada kerusakan dan keharaman dari hasil transaksinya.